Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kid's These Days Bias: Dari Varian Omicron, Belajar Menyayangi Diri Sendiri dan Anak

9 Desember 2021   16:19 Diperbarui: 10 Desember 2021   04:45 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: anak sedang belajar | via unsplash @kuanish reymbaev

Hai, Parents... 

Tanpa terasa kita bersama telah melewati masa pandemi ini selama 2 tahun. Bukan waktu yang singkat. Bukan hal yang mudah, bukan? 

Apalagi, pada kenyataannya virus bukan semakin tuntas terberantas. Temuan kasus Covid-19 belum menunjuk ke angka nol. Yang ada malahan berita munculnya varian baru, seperti halnya varian Omicron. 

Bicara dikit nih, soal Omicron. Mulai tanggal 26 November 2021 yang lalu, WHO mendeklarasikan varian B.1.1.529 atau nama lain dari varian Omicron sebagai varian of concern (VoC) . Yaktul, sebagai varian yang perlu mendapat perhatian. 

Seperti dijelaskan Epidemiolog Graffith University Australia Dicky Budiman, bahwa varian Omicron memiliki daya persebaran 500% lebih cepat daripada varian asli dari Wuhan. 

Kabar paling gres soal Omicron? Pada tanggal 2 Desember yang lalu, Pemerintah Singapura menyatakan bahwa varian Omicron telah sampai di negeri singa Merlion tersebut. Dikatakan pula bahwa telah ditemukan dua kasus virus covid 19 dengan varian Omicron di negara Presiden Halimah Yacob. 

Disusul kemudian negara tetangga kita Malaysia dan Thailand pun sudah terjangkiti varian baru ini. 

Hooo, well... what a rocket spreading. Yap, sepertinya gercep banget nih sebaran virus varian baru. 

Apakah varian virus ini sudah sampai ke Indonesia? Beberapa ahli epidemiolog telah memperkirakan ada kemungkinan Indonesia pun telah terpapar virus varian Omicron. 

Namun demikian, pemerintah Indonesia belum menyatakan adanya temuan baru tentang varian virus ini.

Meskipun seseorang yang terpapar varian Omicron tidak menunjukkan gejala seberat paparan varian sebelumnya, namun bukan berarti kita lepas kewaspadaan. Prokes tetaplah prokes. Tetap jalankeun ya, Ayah, Bunda.

Hmmm, masih adakah dari kita atau kerabat kita yang belum ikut vaksinasi? Come, go get yourself vacinate... 

Makdarit, maka dari itu, Saudaraku. Ayah, Bunda yang tersayang. Dalam artikel ini izinkan saya mengucapkan selamat. 

Why? Ini masa yang penuh perjuangan, Ayah, Bunda. Masa transisi yang tidak satu pun di antara kita dengan mudah berkata, "ah, engga. Ini nyaman kok."

Begitu pun bagi anak-anak. Mereka bertumbuh dengan strungle yang luar biasa. Contoh paling mudah, sistem pembelajaran online. Mudahkah? 

Bagi anak-anak ini bukan persoalan yang mudah. Selain banyaknya tugas adaptasi dalam masa pertumbuhan anak-anak, ada berderet dampak yang membuat anak kita menjadi tidak nyaman, bukan? 

Mulai dengan terbentuknya sikap mager, nilai disiplin yang berkurang, hingga kid's burnout yang kemudian diusung oleh pemerintah untuk mengembalikan anak pada sistem pembelajaran onsite. 

Dari Omicron Jatuh ke Parenting

Dalam koridor masa pandemi, saya sempat tertarik untuk menyisir satu fenomena yang dalam pelbagai musim terus berjalan. Fenomena dalam dunia parenting yang mungkin belum banyak orang tua pahami. 

Yuk, hari ini kita bersama belajar tentang Kid's These Days Effect. Waduh, ini apa lagi... 

Sekarang istilah keminggris kok banyak bangeeet... Bingung aku, mbakyu...(monmap, Ayah Bunda... saya belum mendapatkan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang tepat, hehehe) 

Hmm, baiklah Ayah, Bunda. Apa sih yang disebut kid's these days effect atau bisa juga disebut kid's these days bias. 

Ini niih... 

Suatu hari saya berbincang dengan Engkong Prof. Ya, begitu sajalah nama beliau. Bijaknya yang nakal, kadung membuat rasa iseng melucuti lobus pre frontal cortex saya. 

Seperti sore yang lalu, ketika perbincangan kami menyentuh topil yang sedang trending gegara tiga orang anak yang "dituduh" menelantarkan ibunya yang sudah sepuh ke panti jompo. Topil lawas Kompasiana dulu. 

Entah bagaimana ceritanya hingga kemudian chat chit chut dengan Engkong memunculkan pertanyaan gundah di batin saya. 

"Engkong, kenapa sih ada istilah 'anak durhaka' tapi ga ada istilah 'ortu durhaka' padahal kan di luar sana banyak kasus penelantaran dan atau pengabaian anak?" begitu usai bertanya, saya nyolek pisgor di piring saji virtual Engkong. 

"Aiiiih, sesore ini, bikin pertanyaan ko menyusahkan," usai mengeluh atas ulah usil saya, Engkong mulai membuat beragam penjelasan. 

Beliau hanya bilang, "Intinya, bila ingin kualat ya, silakeun saja amini istilah 'ortu durhaka". 

Duh, karena otak saya terlanjur berputar, semanis pisgor Engkong yang berputar dalam mulut saya. Tetiba, nyempil pula satu percik listrik dalam neurotransmitter saya. 

Yaktul... saya jadi teringat tentang sebuah fenomena yang terjadi di setiap generasi ke generasi berikutnya. 

Fenomena Kid's These Day's Effect ini awalnya timbul dari hasil sebuah studi yang dilakukan oleh John Protzko dan Jonathan Schooler. Mereka mengadakan penelitian tentang bagaimana sebuah generasi memandang generasi berikutnya dalam kerangka negatif. 

Coba Ayah, Bunda, dan Kisanak semua perhatikan contoh berikut. 

"Anak sekarang itu susah kalau disuruh baca. Ga kayak generasi kita dulu, Miss,"

"Nah, ini nih. Kita dulu waktu masih kecil selalu disiplin. Sekarang anak-anak lebih seneng rebahan, main gadget, susah diatur. Disuruh ngerjain PR aja, mbantah. Kok anak-anak sekarang ini susah diatur ya, Miss. Ga kayak zaman kita dulu,"

"Anak zaman sekarang itu, jangankan bisa bahasa daerah lancar. Lha wong disuruh ngluruhi (terjermahan: menyapa) orang yang lebih tua aja susah."

Dan masih banyak keluhan dari generasi terdahulu yang membandingkan betapa generasi terdahulu mempunyai sikap yang lebih baik dari pada generasi saat ini. 

Gimana Sih Kok Bisa Ketemu Fenomena Seperti Ini? 

John Protzko dari University of California mengadakan sebuah studi untuk menguji bagaimana tanggapan responden mengenai tingkat kualitas generasi sekarang bila dibandingkan dengan generasi terdahulu. Kualitas apaan? 

Protzko mencoba untuk mengetahui apakah kecerdasan, minat baca, dan rasa hormat kepada orangtua pada generasi saat ini lebih baik, lebih buruk, atau sama seperti generasi terdahulu. 

Uniknya, sebelum mengadakan penelitian tersebut, Protzko juga melibatkan beberapa ahli psikologi. Dari 260 psikolog perkembangan waktu, 84% di antaranya memprediksi bahwa generasi yang akan datang akan semakin buruk dalam hal delayed gratification (menunda kesenangan). 

Akan tetapi, apa yang terjadi sebenarnya? Jenk... jenk... jenk.... 

Ternyata hasil penelitian Protzco menunjukkan kenyataan lain. Hanya 16 % dari psikolog tersebut memprediksi sesuai dengan hasil studi Protzcko. 

Sebagai contoh, pada kenyataannya anak muda sekarang jauh lebih memilih untuk produktif dan menunda self gratification mereka. 

Sebagai contoh, generasi kekinian lebih memilih untuk berinvestasi dari pada menghabiskan uang. Mereka lebih memilih menabung untuk membeli rumah dari pada menghamburkan penghasilannya sebulan. 

Pada titik ini, saya mulai bertanya, bagaimana mungkin para ahli tersebut pun terjebak pada pola pikir false believe? Apalagi Anda dan saya sebagai orang awam bisa saja terjebak dalam hal ini, bukan? 

Salah satu yang menarik dari Kid's These Day's Effect adalah saat kita menggunakan memori kita. Bahwa memori pada masa lalu tidak dapat kita jadikan pijakan untuk menilai apa yang terjadi saat ini. 

Memori kita bukan laci yang dapat kita buka setiap saat kita butuhkan, Ayah, Bunda. 

Ada sebuah pernyataan dari sebuah artikel, tapi mohon maaf saya lupa dari mana. Dikatakan bahwa memori dipengaruhi oleh keadaan emosi kita saat ini. Sehingga kondisi inilah yang akan memberikan warna bagi memori masa lalu kita. 

Ini saya alami. Saat saya senang, maka yang saya ingat dari almarhumah Ibu saya adalah hal-hal yang menyenangkan. Berbeda bila saya sedang bersedih. Maka yang saya ingat dari sosok Ibu saya dulu adalah rangkaian peristiwa sedih saya saat bersama beliau. 

Bila demikian, dapatkah kita menggunakan memori masa lalu untuk mengukur progres anak-anak kita? 

Untuk mengukur anak muda zaman kiwari diperlukan komparasi dengan apa yang merupakan keunggulan anak muda di masa lampau. Tapi, bukankah tidak ada informasi yang objektif dari memori masa lampau? 

Ayah, Bunda, saat ini, kita dan anak-anak adalah sebuah kesatuan. Bila kita sudah sampai pada detik ini, hingga saat ini, maka kita sudah melakukan hal yang hebat. 

Maka, biarkan saya kali ini mengucapkan "selamat" pada Ayah, Bunda dan semua anak-anak yang ada di sekitar kita. 

Selamat buat kita semua yang masih tetap bertahan dan berjuang. Karena benar-benar tidak mudah bagi kita bertahan dalam situasi tak pasti ini. 

Tapi kita telah melakukannya, bukan? Kita telah melampauinya saat sulit selama masa pandemi ini. 

Yuk, tetap bertahan, tetap terkoneksi. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun