Ini niih...Â
Suatu hari saya berbincang dengan Engkong Prof. Ya, begitu sajalah nama beliau. Bijaknya yang nakal, kadung membuat rasa iseng melucuti lobus pre frontal cortex saya.Â
Seperti sore yang lalu, ketika perbincangan kami menyentuh topil yang sedang trending gegara tiga orang anak yang "dituduh" menelantarkan ibunya yang sudah sepuh ke panti jompo. Topil lawas Kompasiana dulu.Â
Entah bagaimana ceritanya hingga kemudian chat chit chut dengan Engkong memunculkan pertanyaan gundah di batin saya.Â
"Engkong, kenapa sih ada istilah 'anak durhaka' tapi ga ada istilah 'ortu durhaka' padahal kan di luar sana banyak kasus penelantaran dan atau pengabaian anak?" begitu usai bertanya, saya nyolek pisgor di piring saji virtual Engkong.Â
"Aiiiih, sesore ini, bikin pertanyaan ko menyusahkan," usai mengeluh atas ulah usil saya, Engkong mulai membuat beragam penjelasan.Â
Beliau hanya bilang, "Intinya, bila ingin kualat ya, silakeun saja amini istilah 'ortu durhaka".Â
Duh, karena otak saya terlanjur berputar, semanis pisgor Engkong yang berputar dalam mulut saya. Tetiba, nyempil pula satu percik listrik dalam neurotransmitter saya.Â
Yaktul... saya jadi teringat tentang sebuah fenomena yang terjadi di setiap generasi ke generasi berikutnya.Â
Fenomena Kid's These Day's Effect ini awalnya timbul dari hasil sebuah studi yang dilakukan oleh John Protzko dan Jonathan Schooler. Mereka mengadakan penelitian tentang bagaimana sebuah generasi memandang generasi berikutnya dalam kerangka negatif.Â
Coba Ayah, Bunda, dan Kisanak semua perhatikan contoh berikut.Â