Ada ruang rasisme yang kemudian membuat hierarki dan hegemoni hadir dalam sistem masyarakat kita.Â
Wanita, misalnya. Akan dianggap cantik bila mempunyai kulit terang, rambut lurus, hidung mancung, ukuran tubuh langsing, atau wajah glowing --tentu saja tanpa asesoris jerawat-- kinclong tanpa cacat.Â
Seolah individu tanpa idealisme tersebut, menjadi "tidak diterima". Menjadi di luar kotak normatif.Â
Sebuah idealisme sosial yang tentu saja terjadi bukan hanya di belahan dunia Timur. Bahkan merebak menjadi kajian, kemudian diangkat oleh kaum pemerhati dunia kesehatan mental untuk menyuarakan Body Positivity.Â
Mahzab body positivity mulai muncul di tahun 1960-an sebagai sebuah gerakan penerimaan diri terhadap lemak secara utuh di dalam tubuh.Â
Pada tahun 1996 body positivity kembali muncul ke permukaan menjadi bahan ajar dan ujar. Pemunculannya saat itu berorientasi pada proses edukasi mengenai pentingnya pola pikir positif terhadap capaian idealisme bentuk fisik individu.Â
Ini dilakukan sebagai upaya mendistraksi pola pikir masyarakat yang mengagungkan diet ketat dan olah raga berlebihan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.Â
Nah, berlanjut di tahun 2012 yang lalu. Istilah dan gerakan body positivity mulai mengalami perkembangan, bukan hanya menyoal lemak tubuh secara utuh.Â
Body positivity mengalami pergeseran makna, dimana istilah tersebut meluas kepada perubahan mindset "all bodies are beautifull". Yang mengacu pada penerimaan diri bahwa seluruh tubuh kita adalah baik dan indah dengan segala keunikannya.Â
Lalu bagaimana mungkin body positivity bisa jadi toxic positivity?Â
Bagi beberapa orang di luar sana, terjadinya peradangan akibat jerawat akan menimbulkan perasaan sedih, kecewa pada kondisi tubuh, bahkan dalam beberapa kasus terjadi anxiety (gangguan kecemasan). Begitu pula dengan ukuran dan bentuk tubuh.Â