Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Body Positivity ala Adele: Belajar Welas Asih dari Mindset Cukup

17 November 2021   17:38 Diperbarui: 15 Mei 2022   22:29 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: meditasi sebagai upaya menghadirkan rasa welas asih | via unsplash.com @Toni Reed

"Beauty is a state of mind, not a state of body"

Ya, kalimat itulah yang pertama kali melintas dalam ubun-ubun saya ketika membaca, lalu melihat Adele berbincang tentang transformasi fisiknya di salah satu program acara Oprah Winfrey. 

Mungkin sebagian kita dibuat takjub betapa perubahan penampilan penyanyi yang menggaungkan lagu-lagu galau malilau tersebut kini berubah seperti aksi magic illsionist. 

Ternyata bukan hanya All I Ask,  Someone Like You, Hometown Glory, Already Gone, Stone Cold, atau seromantis lagu Make You Feel My Love yang nangkring di rak digital saya. Lebih dari itu, yang membuat saya jatuh hati pada mommy single parent ini adalah perjuangannya untuk bangkit. Meraih mimpi. 

Saya sempat mengikuti perkembangan transformasi fisiknya yang mencengangkan. Betapa tidak! Berat badan penyanyi yang kini melejit dengan singlenya Easy On Me berhasil menurunkan berat badannya lebih dari 45 kg. 

Salah satu yang menarik dari perjalanan karirnya yang paling gres akhir-akhir ini adalah proses dalam penurunan berat badan yang jelas bukan perkara mudah. 

Sempat menyebut self love yang menjadi dasar dari transformasi fisik tersebut, Adele sungguh menghidupi makna body positivity bukan hanya sebagai aksi merubah diri demi tuntutan orang lain. 

Okay, kalo gitu, apa sih yang dibilang body positivity? 

Membaca kembali satu buku tulisan Luh Ayu Saraswati, "Seeing Beauty Sensing Race in Traditional Indonesia" (2013) sungguh mengubah pemikiran saya tentang standarisasi cantik dalam wacana masyarakat kita selama ini. 

Dalam budaya kita, ada norma-norma tak tertulis yang menjadi standar kecantikan seseorang. 

Pada jaman dahulu standarisasi cantik hanya merujuk pada sistem yang menyentuh dimensi warnaisme. Setelah Belanda dan Jepang masuk ke nusantara, maka standar cantik bukan hanya menyentuh dimensi warna. 

Ada ruang rasisme yang kemudian membuat hierarki dan hegemoni hadir dalam sistem masyarakat kita. 

Wanita, misalnya. Akan dianggap cantik bila mempunyai kulit terang, rambut lurus, hidung mancung, ukuran tubuh langsing, atau wajah glowing --tentu saja tanpa asesoris jerawat-- kinclong tanpa cacat. 

Seolah individu tanpa idealisme tersebut, menjadi "tidak diterima". Menjadi di luar kotak normatif. 

Sebuah idealisme sosial yang tentu saja terjadi bukan hanya di belahan dunia Timur. Bahkan merebak menjadi kajian, kemudian diangkat oleh kaum pemerhati dunia kesehatan mental untuk menyuarakan Body Positivity. 

Mahzab body positivity mulai muncul di tahun 1960-an sebagai sebuah gerakan penerimaan diri terhadap lemak secara utuh di dalam tubuh. 

Pada tahun 1996 body positivity kembali muncul ke permukaan menjadi bahan ajar dan ujar. Pemunculannya saat itu berorientasi pada proses edukasi mengenai pentingnya pola pikir positif terhadap capaian idealisme bentuk fisik individu. 

Ini dilakukan sebagai upaya mendistraksi pola pikir masyarakat yang mengagungkan diet ketat dan olah raga berlebihan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh. 

Nah, berlanjut di tahun 2012 yang lalu. Istilah dan gerakan body positivity mulai mengalami perkembangan, bukan hanya menyoal lemak tubuh secara utuh. 

Body positivity mengalami pergeseran makna, dimana istilah tersebut meluas kepada perubahan mindset "all bodies are beautifull". Yang mengacu pada penerimaan diri bahwa seluruh tubuh kita adalah baik dan indah dengan segala keunikannya. 

Lalu bagaimana mungkin body positivity bisa jadi toxic positivity? 

Bagi beberapa orang di luar sana, terjadinya peradangan akibat jerawat akan menimbulkan perasaan sedih, kecewa pada kondisi tubuh, bahkan dalam beberapa kasus terjadi anxiety (gangguan kecemasan). Begitu pula dengan ukuran dan bentuk tubuh. 

Kecemasan tersebut timbul dari perlakuan diskriminasi, diperlakukan berbeda dan tidak adil oleh society. Tak ayal, rasa takut juga menyusul. Takut tidak dapat masuk dalam lingkaran standarisasi yang ada di masyarakat. 

Sebenarnya sebuah standar tidak akan menjadi masalah bila masih bisa diterima sebagai sebuah hal yang sehat. Tapi yang ada di luar sana standar tersebut diletakkan sebagai ukuran yang tidak sehat. 

Misalnya saja, seseorang akan dianggap cantik bila mempunyai kulit putih, bagaimana bila lahir dalam kondisi kulit gelap? 

Atau yang dianggap cantik atau ganteng adalah mereka yang berwajah glowing? Lalu bagaimana dengan mereka yang lahir dengan pipi chubby, berjerawat, atau hidung pesek? 

Saya sepakat dengan salah seorang Guru yang mengatakan pada saya, bahwa cantik atau ganteng hanya keadaan pikiran. Cantik atau ganteng adalah bagaimana kita membuat persepsi pada seseorang. Jelas tidak ada kaitannya dengan keadaan tubuh. 

Lantas apakah keinginan atau usaha kita berubah menjadi lebih baik itu salah? Weee.... tunggu sebentar... 

Memperbaiki diri berbeda dengan bertumbuh. Growth mindset ini yang kerap kali dijadikan alasan seseorang untuk mencoba mengejar apa yang dianggap baik oleh sekitarnya. 

Sehingga terkadang kita terjebak pada pemikiran kurang. Mindset kurang membuat kita memandang sesuatu sebagai sebuah pengejaran. Pengejaran yang seakan tiada pernah berakhir. 

Hingga kemudian kita merasa bahwa kita tidak membutuhkan apa yang telah kita raih. Bahkan kemungkinan untuk kembali pada habbit, kebiasaan lama pun akan menjadi lebih besar. 

Menanamkan mindset cukup

Mindset cukup memang tidak seru. Berasa rerata saja ketika menjadi biasa. Ga heboh. Begitulah bila kita menanamkan mindset cukup. 

Dan rasanya ga asik, bukan? Tapi coba kita menjadi ramah pada diri sendiri. Cobalah untuk menerima diri untuk bertumbuh menjadi lebih baik. 

Belajar dari Adele, si cantik empunya golden voice, inilah pernyataannya yang sengaja saya kutip dari Kompas saat Adele menyatakan kepada publik alasan hiatusnya dari dunia entertainment. 

"Aku melakukannya untuk diriku sendiri dan bukan untuk orang lain. Jadi, mengapa aku membagikannya? Aku tidak menganggapnya menarik. Ini tubuhku," ujarnya.

Ada rasa welas asih pada diri sendiri. Self compassion yang kemudian mendorongnya melakukan perubahan. Bukan melakukan perbaikan karena tuntutan dari luar. Bukan untuk mengejar sesuatu. Tetapi untuk bertumbuh menjadi lebih baik. 

Sebenarnya, menerima diri untuk bertumbuh menjadi lebih baik, bukan hal yang sulit. 

Menerima dan menjadi lebih baik bukan hal yang berlawanan. Bahkan menjadi hal yang lebih mudah diterima dibanding dengan memperbaiki yang membutuhkan banyak effort. 

Saya menerima tubuh saya gendut, maka saya akan berolah raga. 

Saya menerima saya belum lincah menulis, maka saya belajar menulis. 

Saya tahu, saya menerima .... (tunjukkan apa yang menjadi kualitas baik dalam diri kita). 

Mari memaknai body positivity sebagai pola pikir positif dimana setiap orang berhak menilai dirinya sendiri dan orang lain secara positif atas tubuhnya, terlepas dari idealisme masyarakat atau pandangan budaya. 

Sekian dari saya kali ini... 

Salam sehat, salam sadar

Sumber : 

  • Luh Ayu Saraswati. Seeing Beauty, Sensing Race in Traditional Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. (2013). 
  • Kompas (23/10/21) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun