...
Bagiku, kau tetaplah ruang kosong. Berupa titik-titik yang tak sengaja kuisi dengan kalimat tak sempurna; frasa di tepi jalan yang kukumpulkan, dan sedikit rayu yang kupinjam dari pelangi tadi sore, usai hujanmu pergi.
Ya...,hujan siang membawa pergi setiap debu. Apakah ia pula yang membawamu berlalu? Akankah pula hujan siang  menghapus jejak yang kau tatah di setiap butir pasir?Â
Lalu kutujukan kepada siapakah kumpulan syair yang terdampar di pantai ini?
Kepada siapakah lagi kuhantarkan semua rasa yang kukeruk dari ceruk malam selama ini?
Hujan di tepian kemarau kini bersuara parau, serak, sesak membunuh telinga nalarku, menutup netra dengan kilat dan guntur perkasanya.Â
Selekas cahaya kilatan guntur yang datang menggelegar di angkasa, menggulung angan yang kutitipkan pada langit biru.
Haruskah kututup pintuku kembali?
Dan aku akan tinggal dalam ruang ini. Sendiri. Biar kubebat sendiri lagi luka ini. Menderas kembali embun dari botol kecil yang dulu kau selipkan, sesaat janari menenggelamkanku dalam mimpi di ujung hari.
Akankah kau mengetuk pintu ruangku lagi?Â
Atau akan tiba saatnya nanti di suatu pagi. Ketika kubuka pintu ruangku, lalu kudapati seruas senyum lain. Saturasi dari pendar saturasa.