Salam, Asmaraloka
Dari sekian banyaknya waktu yang menderaku, kau begitu berani mendesakku membukakan pintu yang lama kututup rapat.
Semula aku tak mengerti, dari mana sebotol kecil embun yang tergeletak di depan pintu pagiku. Semula aku tak tahu, dari manakah datang butiran sinar yang berkilau menerangi pagi berkabutku.Â
Sungguh! Kau mendesakku membukakan pintu.Â
Oh, engkaulah lontar bertuan yang terbuka. Setiap huruf yang kau tata laksana peristiwa ajaib yang kau bawa dari dunia sana. Memikatku sedemikian rupa. Kaulah buku yang setiap lembarnya memuat romantika aksara.Â
Salam kepadamu, wahai kau tatahan rupa semesta
Dengarkanlah...,laksana setetes air langit yang terjatuh untukku saat aku terengah di padang gurun, ya, itulah engkau, kekasih.Â
Sehangat sinar rembulan penuh yang membias, lalu menjatuhiku kala malam padang gurun membelenggu dengan dinginnya yang menyesak, begitulah hadirmu.
Laksana dawat, kuambil air samudra raya, lalu aku berlari mengejar hari di bibir lautan yang masih berpasir.Â
Kupetik dahan yang tertiup angin kering sebagai pena, dan kertas kosong yang kusobek dari sepotong awan langit. Lalu kutanya setiap orang. Merekalah yang menatah aksaraku yang selalu limbung mencari sandaran bila bersawala tentangmu.
...
Bagiku, kau tetaplah ruang kosong. Berupa titik-titik yang tak sengaja kuisi dengan kalimat tak sempurna; frasa di tepi jalan yang kukumpulkan, dan sedikit rayu yang kupinjam dari pelangi tadi sore, usai hujanmu pergi.
Ya...,hujan siang membawa pergi setiap debu. Apakah ia pula yang membawamu berlalu? Akankah pula hujan siang  menghapus jejak yang kau tatah di setiap butir pasir?Â
Lalu kutujukan kepada siapakah kumpulan syair yang terdampar di pantai ini?
Kepada siapakah lagi kuhantarkan semua rasa yang kukeruk dari ceruk malam selama ini?
Hujan di tepian kemarau kini bersuara parau, serak, sesak membunuh telinga nalarku, menutup netra dengan kilat dan guntur perkasanya.Â
Selekas cahaya kilatan guntur yang datang menggelegar di angkasa, menggulung angan yang kutitipkan pada langit biru.
Haruskah kututup pintuku kembali?
Dan aku akan tinggal dalam ruang ini. Sendiri. Biar kubebat sendiri lagi luka ini. Menderas kembali embun dari botol kecil yang dulu kau selipkan, sesaat janari menenggelamkanku dalam mimpi di ujung hari.
Akankah kau mengetuk pintu ruangku lagi?Â
Atau akan tiba saatnya nanti di suatu pagi. Ketika kubuka pintu ruangku, lalu kudapati seruas senyum lain. Saturasi dari pendar saturasa.
 Salam dari kelambu jiwa.Â
*Solo,.... saat adiwarna meruah dalam saturasi saturasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H