Salam, Asmaraloka
Dari sekian banyaknya waktu yang menderaku, kau begitu berani mendesakku membukakan pintu yang lama kututup rapat.
Semula aku tak mengerti, dari mana sebotol kecil embun yang tergeletak di depan pintu pagiku. Semula aku tak tahu, dari manakah datang butiran sinar yang berkilau menerangi pagi berkabutku.Â
Sungguh! Kau mendesakku membukakan pintu.Â
Oh, engkaulah lontar bertuan yang terbuka. Setiap huruf yang kau tata laksana peristiwa ajaib yang kau bawa dari dunia sana. Memikatku sedemikian rupa. Kaulah buku yang setiap lembarnya memuat romantika aksara.Â
Salam kepadamu, wahai kau tatahan rupa semesta
Dengarkanlah...,laksana setetes air langit yang terjatuh untukku saat aku terengah di padang gurun, ya, itulah engkau, kekasih.Â
Sehangat sinar rembulan penuh yang membias, lalu menjatuhiku kala malam padang gurun membelenggu dengan dinginnya yang menyesak, begitulah hadirmu.
Laksana dawat, kuambil air samudra raya, lalu aku berlari mengejar hari di bibir lautan yang masih berpasir.Â
Kupetik dahan yang tertiup angin kering sebagai pena, dan kertas kosong yang kusobek dari sepotong awan langit. Lalu kutanya setiap orang. Merekalah yang menatah aksaraku yang selalu limbung mencari sandaran bila bersawala tentangmu.