Masa pandemi bukan masa yang mudah bagi semua orang, terlebih bagi anak-anak. Seolah mereka adalah korban yang tersudut antara kesehatan dan pendidikan.Â
Kultur belajar secara daring ternyata tidak serta merta dan dalam waktu yang segera mampu menggantikan sistem pembelajaran secara tatap muka.Â
Selain kondisi fisik yang rentan terkena paparan virus covid-19, anak-anak menjadi bagian dari sebuah masa transisi budaya, di mana dalam perkembangan kognitifnya, "terpaksa" harus beradaptasi dengan lingkungan yang terkesan membatasi keleluasaan eksplorasi pada masa pembelajaran mereka.Â
Tentu saja ini bukan hal yang mudah.Â
Meningkatnya masalah kesehatan mental anak selama PJJ berlangsung
Apa yang selama ini telah dirancang sedemikian rupa oleh para ahli ternyata masih saja mengguratkan beban mental tersendiri bagi para pelaku pendidikan. Baik itu siswa, guru, maupun orang tua.Â
Beragam kendala seakan menjadi batu sandungan bagi para siswa maupun pengajar. Mulai dari kepemilikan fasilitas pembelajaran, paparan sinyal yang tidak merata, cara penyampaian materi, dan faktor-faktor lain yang kemudian menjadi kendala dalam PJJ.
Meski demikian, anak-anak masih saja dituntut untuk saling berkompetisi mendapatkan prestasi yang terbaik. Seakan orang tua ingin memenuhi kebutuhan anak dalam masa pencarian jati diri mereka.Â
Padatnya jadwal les ini les itu mengiringi saat-saat tidak nyaman selama pembelajaran via daring.Â
Dan inilah alasan orang tua yang seringkali saya dengar,Â
"Biar ada kegiatan gitu lho, Miss."
"Lha dari pada habis online sekolah dianya malah gaming aja, mending saya suruh les to, Miss."
"Anaknya sendiri yang bilang, 'udah suntuk, Ma, di rumah terus.'Gitu Miss."
Ya, begitulah. Belum lagi ada beberapa orang tua yang selalu rajin membandingkan prestasi atau capaian anaknya dengan anak yang lain. Pada umumnya, orang tua melakukannya dengan alasan ingin memberikan motivasi bagi anak-anak.Â
Hmmm... apakah lantas si anak merasa termotivasi? Well... kebanyakan dari mereka malahan mengaku stres dengan seabrek aktivitas yang harus dijalani. Please believe me...Â
Nah.... serasa lengkap, bukan? Mari kita flashback menilik data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang menunjukkan kenaikan tingkat kecemasan, rasa takut, bahkan adanya laporan keinginan anak untuk bunuh diri pada saat lima bulan masa pandemi.Â
Melalui studi yang melibatkan 4010 responden dari 34 propinsi di Indonesia yang melakukan swaperiksa, 64,8 % di antaranya menunjukkan adanya masalah psikologis berupa cemas, stres, depresi, maupun trauma. Kondisi tersebut rentan muncul pada rentang usia 17-29 tahun dan usia lebih dari 60 tahun.Â
Tingkat kejenuhan siswa belajar melalui sistem daring pun sedikit demi sedikit merubah karakter dan sikap belajar anak.Â
Muncul beragam fenomena sosial berkait dengan berjalannya PJJ. Salah satu yang jamak terjadi di berbagai negara adalah student burnout.Â
Well, di kalangan mahasiswa fenomena ini biasanya disebut sebagai academic burnout.Â
Student burnout merupakan kondisi di saat siswa merasakan cemas, takut, stres, depresi dalam durasi waktu yang panjang. Dalam hal ini dialami oleh pelajar selama masa pandemi.Â
Sepanjang berlangsungnya PJJ mahasiswa diharapkan mempunyai self efficacy--keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya untuk menghadapi tuntutan akademik-- yang tinggi sebagai salah satu cara menghindari academic burnout.Â
Namun pada kenyataannya, selama PJJ berlangsung, siswa dan mahasiswa lebih cenderung merasa dirinya tidak berkompeten untuk menjalankan tugasnya.Â
Sehingga banyak di antara mereka yang memilih melakukan perilaku negatif seperti menyontek, googling pada saat ujian berlangsung, prokastinasi, drop out, dan perilaku negatif lainnya.Â
Tentu saja, online learning self efficacy yang diharapkan muncul selama masa PJJ pun pada realitanya tidak tercapai.Â
Pembelajaran melalui sistem daring selama satu tahun ini dinilai kurang memberikan pengalaman langsung; kurang mampu memberikan informasi yang kuat bagi self efficacy para pelajar dan mahasiswa.Â
Learning loss dilaporkan semakin tinggi dari hari ke hari di berbagai daerah. Ini tentu saja bukan hal yang main-main, saudara.Â
Learning loss, hilangnya kesempatan bagi peserta didik untuk dapat menerima pelajaran secara maksimal karena berkurangnya intensitas pertemuan skin to skin dengan para guru, mengakibatkan turunnya kualitas siswa.Â
Itu mengapa tingkat capaian keberhasilan anak-anak menyerap dan meresponi suatu mata pelajaran dianggap telah mengalami penurunan kualitas.Â
Bagaimana dengan temuan kasus-kasus KDRT pada anak-anak selama masa PJJ?Â
Coba cek data yang saya bawakan berikut ini.Â
Kekerasan terhadap anak selama pandemi berlangsung sempat saya intip dari KPPPA.go.id melalui data dari SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus, di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.Â
Bagaimana bisa terjadi?Â
Beban pengeluaran; biaya hidup yang harus diadakan setiap hari dirasakan tak sebanding dengan pendapatan keluarga yang tidak stabil.Â
Terlebih kebijakan pemangkasan sejumlah tenaga kerja yang marak terjadi di berbagai lini korporasi menyisakan akumulasi emosi yang mengendap dalam setiap individu yang terdampak.Â
Pengelolaan emosi yang tidak tepat dan tingginya intensitas pertemuan selama "di rumah saja" menimbulkan banyaknya gesekan konflik antar anggota keluarga.Â
Anak-anak adalah objek paling rentan mendulang muntahan emosi dari kelelahan orang tua. Bagaimana dengan konflik antar saudara? Bisa juga terjadi. Kelelahan mental seorang anak akan ia lampiaskan kepada saudaranya sendiri dalam wujud perilaku negatif.Â
Meningkatnya kasus KDRT yang semakin berjenjang meninggi dibarengi dengan menurunnya tingkat pertumbuhan kesehatan mental anak terdampak pelaksanaan PJJ selama satu tahun ini memang sudah selayaknya menjadi fokus perhatian.
Bukan maksud saya mengecilkan arti segala kerepotan yang mungkin saja terjadi beserta segala persiapan mulai dari arus birokrasi sebagai agen sistem hingga mengembalikan kebiasaan anak yang bukan hal yang mudah bagi orang tua.Â
Namun, mari, kepada orang tua dan para pendidik, percayalah, kita sudah melakukan yang terbaik untuk anak-anak selama pandemi ini berlangsung.Â
Anda orang tua juga para pendidik yang hebat dengan segala proses yang kita jalani selama ini. Memang, tidak ada yang sempurna, tapi paling tidak kita sudah mencoba yang terbaik.Â
Mari bersama-sama terus berjuang untuk kemajuan anak-anak bangsa.Â
Salam dari sudut kecil edukasi bangsa.Â
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H