Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Merajut Kesehatan Mental Tanpa "Positive Vibes Only"

28 Juli 2021   13:31 Diperbarui: 23 April 2022   14:41 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam kewarasan!!!

Mengapa saya mengatakan ada yang tidak sepakat dengan topil ini? Yuk, coba cek, sesering apa kita masing-masing mengucapkan kalimat berikut bila ada seseorang yang datang dan mengungkapkan kesahnya pada kita. 

"Ah, segitunya ajha kok, aku dulu malah lebih dari itu," lalu diteruskan dengan kisah penderitaan kita sendiri. 

"Patah hati, ya? Jangan sedih terus gitu dong, yang semangat! "

"Ayo kamu ga boleh lemah gitu. Bersyukur kamu masih bisa.... " dilanjutkan dengan bla bla bla bla.... 

"Gimana sih, kek gitu ajha takut,"

"Ayo, kamu kuat kok"

"Lihat dulu sisi baiknya... "

"Jangan sedih, apalagi nangis. Kurangin yang nangis-nangis,"

Dan masih banyak lagi contoh ucapan yang terdengar seperti memberi semangat pada orang lain. Bahkan kadang saya sendiri tergoda dan hampir tergelincir melakukannya. 

Banyak pula para pemerhati kesehatan mental seringkali terjebak dalam romansa "positive vibes only".

Tapi, bukankah itu biasa? Kedengarannya sangat membangunkan jiwa lho. Iyha ga?Iyha ga? 

Sebentar, kawan... Izinkan saya membuka artikel ini dengan sepiring kecil pemahaman tentang toxic positivity. 

Apa siiih itu? Yang namanya positif kok beracun? 

Weladalah, apa panjenengan belum pernah mendengar ada seorang yang ahli di bidang toksikologi, bernama Paracelsus pernah berucap,

"sola dosis facit venenum"

Kurang lebih maksud beliau itu bahwa segala sesuatu adalah beracun dan tidak ada yang tidak beracun; hanya dengan takaran sajalah yang membuatnya tidak beracun. 

Toxic positivity adalah sebuah keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif, dengan mengabaikan emosi lain dan hanya memvalidasi perasaan yang mendatangkan rasa gembira. 

So, simple-nya gini nih, gengz.... 

Rasa duka datang dalam kehidupan kita sama random-nya dengan rasa gembira dan senang.  Begitu pula dengan rasa takut dan jijik. 

Beberapa ahli berusaha membagi emosi menjadi emosi negatif dan positif berdasarkan pada seberapa jauh emosi tersebut memberi rasa nyaman atau tidak nyaman dalam diri kita. 

Ini bukan berarti emosi dibedakan atas dasar kualitasnya. Ini yang seringkali menjadikan kita blunder. Semua emosi mempunyai tingkatan yang sama. Semua sama derajatnya. Tidak ada yang lebih tinggi dari emosi yang lain. Setiap emosi yang hadir dalam diri kita membawa pesan bagi kita. 

Marah, ada pada saat kita merasa diperlakukan tidak adil. Sedih biasanya hadir bila ada yang hilang, supaya kita terhubung dengan orang terdekat kita. 

Bagaimana dengan takut? Bagian amygdala pada otak kita akan memberikan sinyal agar kita waspada, bahwa ada sesuatu yang akan membahayakan kita. Lalu pada akhirnya timbul respon fight, flight, or freeze....

Ilustrasi: empati | via theispot.com
Ilustrasi: empati | via theispot.com

Jijik membawa pesan supaya kita menolak apa yang tidak sehat bagi kita. Kita tentu akan menolak makan di sebuah tempat yang kotor dan dikerubungi lalat. 

Pada dasarnya, semua emosi bersifat valid. Semua nyata, semua kita rasakan. 

Sedangkan kita manusia lebih cenderung menghindari hal-hal yang membuat hidup tidak nyaman. Iye ga? 

Kabar buruknya, segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah random, kawan. Kita tidak bisa memilih peristiwa yang hadir dalam hidup kita, bukan?

Nah, cukup introduction-nya yha, Sobat... 

Yuk masuk ke ranah yang lebih sensitif. Sebelumnya, bagi yang ingin segera memberi vote, monggo dipersilakan menjajaki dulu kata demi kata berikut ini. Ndak usah terburu-buru... 

Ahay.... terburu-buru!! Pegang dulu kata kunci ini ya... 

"Berhenti berusaha membuat emosi menjadi invalid, karena semua emosi itu valid".

Terkadang kita terburu-buru ingin mengakhiri percakapan dengan seseorang yang sedang bercerita tentang kesedihannya. 

Why? Adakalanya kita kurang mampu meregulasi emosi kita sendiri, sehingga pada saat kita mendengarkan orang lain bercerita, kita tergesa memberikan respon positif agar percakapan tersebut lekas selesai. 

 Seringkali kita akan terjebak pada ungkapan:

"Ayo kamu bisa kok," seperti secuil chat yang saya terima di sebuah pagi, dari seseorang yang ingin menyemangati. (yang ngerasa 'n cengar-cengir terpenjara di kamar, thanks anyway). 

Sadarkah kita bahwa ucapan tersebut akan membuat lawan bicara kita yang sedang berduka menyangkali semua emosi yang sedang dirasakannya. 

Sehingga orang tersebut akan merasa bahwa emosinya invalid. Ia tidak berduka. Padahal faktanya ia sedang berduka. Sehingga ia akan kehilangan momentum untuk berkontemplasi. 

Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiater yang dalam bukunya On Death and Dying sempat mengungkapkan lima tahapan berduka, yang sering kita kenal sebagai five stages of grief. 

Ada masa denial (penolakan), anger (marah), bargaining (tawar-menawar), depresion (depresi), dan acceptance (penerimaan). Mo tahu penjelasannya? Klik aja website kesehatan langganan Anda atau boleh juga tekan judul yang membiru ini, "Lima Tahap Kesedihan".

" We are human being, not human doing"(Richard Carlson~Don't Sweat The Small Stuff) 

Nah, bila ada seseorang datang, kemudian mulai curcol, sedangkan kita sedang dalam kondisi yang kurang nyaman, alangkah baiknya kita berkata, "kita bicarakan besok ya. Aku sedang lelah. Daripada nanti jadinya tambah runyam."

Hanya sedikit berbagi, saya biasanya akan duduk dan hanya mendengarkan mereka yang datang bercerita tentang keluhnya.  Terkadang mereka tidak membutuhkan terlalu banyak kata dan nasehat. Cukup didengarkan saja.

Usahakan kita untuk berfokus pada apa yang mereka keluhkan. Bukan tergesa memberi saran yang belum tentu mereka butuhkan. 

Bila mereka menghubungi kita via chat atau telepon, sebaiknya gunakan kata-kata seperti, "Tenang dulu, yuk bicarakan bersama, aku ada untukmu."

Kalaupun kita belum mampu punya kata-kata yang tepat saat mereka sedang berduka, atau sedang marah, atau sedang dalam ketakutan, paling tidak dengarkan saja mereka, atau tunjukkan empati dalam perbuatan nyata kita untuk mereka. 

Sederhana saja. Kita adalah manusia yang membutuhkan tempat untuk bercerita, memvalidasi emosi, meregulasi emosi, butuh untuk dipahami. 

Selamat menjalani hidup dengan mengurangi #PositifVibesOnly

See you at my next post, dan... Salam waras!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun