Issue nya bukan untuk menghentikan pikiran-pikiran tersebut. Tapi berjarak dengan pikiran.
Kenali ia, saat ia datang. Tidak usah terburu-buru mencoba menjawab setiap pertanyaan di kepala. Karena ketika kita sudah tidak mampu menjawab pertanyaan, pikiran akan terus mencoba untuk menipu kita. Ingat, apa yang ada dalam pikiran belum tentu sesuai realita.
Ada satu yang menarik dalam filosofi Stoa, Khey dan semua Sobatku. Bahwa sebenarnya hanya ada dua hal yang bisa kita cermati.
Mari kita kendalikan apa yang mampu kita kendalikan dan yang tidak dapat kita kendalikan, ya biarkan saja terjadi apa adanya.
Nulis diary ini pun bisa jadi katarsis saat kita overthinking. Bener ga sih, Khey...?
Khey, meskipun overthinking bukan termasuk kategori disorder -dunno why lately people realy love knowing this matter-, namun ada gangguan mental yang berhubungan dengan overthinking, seperti misalnya anxiety disorder. Overthinking seringkali datang tanpa kenal jenis kelamin atau pun jajaran profesional tertentu.
Terlebih, di jaman kiwari, dimana orang mempunyai intensitas tinggi dalam penggunaan hp. Penggunaan gadget yang berlebih merupakan salah satu faktor pemicu seseorang untuk jumping to conclution. Dengan data yang tidak lengkap, seseorang dengan mudah mengambil kesimpulan.Â
Selain meditasi mindfulnes, saya juga sedang mengurangi pola kata "saya harus", "saya pasti". Kalau untuk yang ini, saya mencoba saran dari dr. Andreas Kurniawan, SpKJ si penyapa Sobat Overthinking.
Apakah ini berhasil untuk yang membaca? Monggo saja....
Kay, c yha...
*PS: jadi buat yang belum tahu, Khey itu nama panggilanku buat Kompasiana :))