Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Ingin Move On dari Ghosting? Ini Dia Kata Kuncinya

4 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 2 Mei 2022   19:10 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tidak ingin ditinggal oleh pasangan. (sumber: Milan Popovic/Unsplash)

Yeay...saya suka, saya sukaaa...akhirnya bisa nongol lagi nih di Khey. Kangen ngombreng lagi. Situ kagen tulisan saya ga? (hissshh boro-boro kangen, kenal saya ajha engga, salah sendiri saya hibernasi kelamaan.....haduh, patah hati nih, saya).

Eh, ada yang belum pernah patah hati? Waw, kalo belum pernah patah hati, congrats, mantul be'eng dirimu, sobs. (hmm mantul gimana? baru jadi gebetan  udah keburu diraih temen, hiks hikss. Pengikut Partai Jomlo Sejuta Oemat, mari renggangkan rahang dan teriakkan, "Kita Jomlo Harapan Bangsa!!").

Ngomongin soal patah hati, nyerempet dikit ke topil si Mimin soal ghosting. Fenomena yang bagi ghoster (pelaku ghosting) dianggap sebagai suatu peristiwa yang alami. Hampir semua orang mengalami. (lhah dipikirnya semua mau dighosting? ketemu hantu? hedew, seyem).

Kay, mari siapkan perkakas, yuks kita goreng ghosting. Cek dhuunk.... GHOSTING, gengz.

Alasan Individu Melakukan Ghosting

Ilmu kanuragan evaporating (read: ghosting) atawa tetiba menghilang ini memang hanya dimiliki oleh mereka yang berjiwa hantu.

Banyak alasan yang sering dipakai para pelaku ghosting. Secara umum ghoster melakukan aksinya karena ia tidak ingin serius menjalani hubungan (kalo ga serius ngapain dijabanin siii, ngab?).

Krisis percaya diri dalam menjalin hubungan pun akhirnya menjadi alasan yang diambil para pelaku ghosting. Merasa diri kurang pantas bagi pasangannya, tanpa ba bi bu na ni nu, lantas menghilang begitu saja (yha mungkin dia lagi berburu self esteem kali, yak?).

Atau tidak mempunyai alasan tepat untuk menjalin sebuah komitmen (ayolah, bisa jadi si ghoster sedang menjalin komitmen baru dengan orang lain lagi. Pantes aja dibilang hantu!!).

Eh, ada yang lebih parah lagi bilang gini nih, gengz, "lha aku sama dia bukan sedang pacaran. Dia kan cuma gebetan. Kami ketemu juga cuman sekali. Trus apa salahnya kalau aku ngilang?" (mmm, buseeet, tega bener nih bakwan kukus. Emang dia pikir lagi beromansa ama tutup panci yang engga punya perasaan dan emosi, gitu?).

Dalam sebuah studi yang tertuang pada Journal of Social and Personal Relationships bahkan dikatakan bahwa salah satu alasan mengapa seseorang melakukan ghosting adalah menyoal "takdir" (hhh?? takdir? ).

Ghoster melakukan aksi menghilangnya karena menurutnya ada hal yang lebih penting, yang harus dilakukan demi masa depannya dibandingkan dengan terus melanjutkan hubungan yang sedang terjalin. Well prety wierd, aneh, tapi nyata.

Duh, kenapa saya yang jadi geregetan gini yha? 

Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka yang terdampak ghosting ini, sobs?

Yang biasanya terjadi pada korban adalah timbulnya kemarahan, rasa dendam, ghostee (korban) akan merasa dirinya bloon rendah diri, merasa sebagai manusia yang paling buruk sedunia, stres tiada berujung, bahkan bagi mereka yang jatuh dalam jurang depresi yang dalam mampu melakukan aksi bunuh diri. I'm not kiddin, guys.

Dalam satu studi lain tentang pengaruh stres terhadap gangguan psikopathy tersebutlah sebuah fenomena brokenheart syndrome atau lebih dikenal dengan Takotsubo cardiomyopathy, yaitu suatu kondisi dimana otot jantung tetiba melemah, sehingga tidak dapat memompa darah dengan benar. Begitu saya kutip dari health.havard.edu.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat move on? 

Nah, ini salah satu pertanyaan yang seringkali ditanyakan oleh ghostee (korban ghosting). Tapi, sebelumnya mari pahami dulu tentang fase kehilangan.

Ilustrasi: sulitnya move on bagi ghostee | via tinybuddha.com
Ilustrasi: sulitnya move on bagi ghostee | via tinybuddha.com

Kehilangan sosok yang kita sayangi memang fase yang sudah pasti dialami oleh setiap manusia. Selama kita masih menjadi makhluk yang fana, maka kehilangan merupakan satu bagian yang tidak dapat kita tolak kehadirannya, atau menghindarinya. Cepat ataupun lambat kita pasti mengalami fase tersebut.

"Biarkan waktu yang menyembuhkan"

Ya, ya, ya....engga ada yang salah dengan pernyataan itu, sobs. Hanya saja, statement itu juga tidak sepenuhnya benar.

Dengan berjalannya waktu kondisi emosi individu yang mengalami fase kehilangan, mengalami patah hati, memang akan berangsur normal kembali.

Hanya saja, perlu dicetak tebal, pun digarisbawahi bahwa patah hati ga bakal sembuh pulih tanpa kita berbuat sesuatu, gengz.

Bila individu berada dalam fase kehilangan, terjebak kegalauan, meratapi hidup dan kegagalan, tanpa berbuat sesuatu for coping it, yha tetap saja stuck di satu kondisi.

Moving on merupakan kondisi berpindahnya seseorang dari satu tempat, satu ruang, satu dimensi, satu posisi ke tempat, ruang, dimensi, dan posisi yang lain. Ada aktivitas berpindah.

Now, it's all 'bout choises. Ini tentang pilihan, sobs. Memilih meratapi masa lalu, atau memilih menatap ke depan. I know it's not gonna that easy. Tapi, saya pun pernah berada dalam kondisi kehilangan. Ditinggal pas butuh sayaaang.

Setidaknya ada tiga sikap yang perlu kita mengerti agar kita mampu berpindah ke hal yang lebih baik. 

1. Terima perasaan dan emosi yang ada.

Sakit, marah, denial, ya,...saya pernah berada dalam lembah kelam itu. Kehilangan seseorang yang telah berjanji sehidup semati melangkah bersama saya. Nyatanya...??

Ada saat terjadi penyangkalan, marah pada diri sendiri dan orang lain, penyesalan, bahkan ada rasa rendah diri yang ga ketulungan pahitnya. I mean it. It's really sucks uncomfort.

Kadang kita juga masih berandai-andai, seakan kita tidak dapat hidup tanpa dia yang meninggalkan kita. Meratapi masa lalu, menyimpan history chat dengannya, menyimpan foto kala bersamanya dulu, atau bahkan masih stalking di akun medsos si dia sambil berkata, "oh, andai aku masih bersamanya, aku pasti dibliin mobil listrik, mumpung lagi bebas pajak". H e n t i k a n, Ceripa...

Atau kita masih terbawa ekspektasi yang berlebih tentang cita-cita masa depan yang pernah kita bangun bersamanya. ITU TIDAK PERLU. 

Sadari kita tidak membutuhkan pikiran yang memanipulasi kita; yang membungkus kenangan dan ekspektasi dengan menggunakan efek dopamin. Membuat kita senang hanya sementara. It's not real, beib. Pahamilah itu semua hanya imajinasi.

Sadari dia telah pergi. Sadari semua telah berakhir. Sadari bahwa kita bukan di masa dulu atau di masa depan yang tidak pasti. Toh, belum tentu kita menjadi pribadi yang lebih baik bila terus bersamanya.

Love your self. Self love tidak melulu melakukan apa yang menyenangkan. Tetapi dengan menerima semua rasa marah, sesal, jengkel, adalah salah satu wujud self love. 

2. Hindari melawan segala perasaan dan emosi yang datang

Grieving, atau bersedih memang ada masanya. Tetapi bukan untuk dilakukan terus menerus. Ingat, segala yang kurang maupun berlebih pasti tidak baik bagi kita. 

Menukil dari sebuah studi yang dilakukan beberapa peneliti dari University of Texas, dalam The Journal of Neuroscience 1 Mei 2019 lalu, mengenai dampak upaya individu melupakan kejadian buruk pada otak.

Dikatakan bahwa semakin tinggi pemrosesan memori, akan menyebabkan memori semakin kuat, sehingga otak justru akan lebih mengingat dari pada melupakan.

Semakin kita mencoba melupakan perasaan tidak nyaman itu, melupakan kenangan dan ekspektasi kita, maka semakin kuat pula perasaan itu bercokol, semakin berakar dalam diri kita. 

So, plis lah, sobs. Bila ada di antara kita yang sedang berupaya keras melupakan seseorang atau berusaha dengan seluruh energi menghapus semua rasa tidak nyaman itu, berhentilah. Berhenti melawannya.

3. Maafkan, lalu beranilah move on!

Mau tahu keyword move on? Forgiveness. Yups. Belajar dari proses depresi, saya sadar, bahwa ternyata, memaafkan adalah ramuan paling mutajab. Jangan karena terpaksa. Lakukan dengan tulus. Let everything go. Meskipun kita sepertinya tidak menerima apa pun setelah memaafkan semua.

Cobalah memaafkan diri kita sendiri. Berdamailah dengan diri kita. Hentikan self blamming, sebelum kita memaafkan orang lain.

Katakan pada diri kita,
'maaf, telah membuatmu sakit'
'maaf, telah mempertemukanmu dengan orang yang salah'
'maaf, telah membawamu pada kejadian yang tidak enak, maaf yha,'

Lalu akhiri dengan penuh welas asih, 'aku menyayangimu, diriku'

Kita memang tidak dapat mengantisipasi datangnya pikiran. Pikiran dari masa lalu maupun dari masa depan seringkali datang bagai jailangkung. Hehehe, canda beib. 

Dia datang dan pergi sesuka hatinya...itulah pikiran. Berbeda dengan emosi yha, sobs. Meski datang tanpa kenal waktu, namun kita mampu mengelolanya. 

Setiap kali pikiran itu datang, sadari. Mari tetap SADAR. Katakan pada pikiran tentang masa lalu atau masa depan, bahwa kita hidup di masa kini.

Mari berani menghapus foto atau chat kita bersamanya di medsos, mari berani mengakui bahwa semua telah berakhir. Mari berani mengakui bahwa dia telah pergi. 

Dan apa yang ada pada kita saat ini adalah kita yang bisa menjadi lebih baik. Kita yang mampu menjadi lebih dewasa. Lebih bijak, lebih tangguh, lebih kuat. Mungkin kita tidak dapat melupakan atau menghapus kenangan bersamanya. Namun, mengingat kenangan tersebut tanpa rasa sakit, itu yang jadi lain soal. 

Just be yourselves. Ijinkan kita menjadi diri kita sendiri. Selamat berproses, selamat melangkah, selamat move on, Sobatku.

Move on? Siapa takut....

Salam,
Penulis

*) sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun