Dear Diary,...
Hari ini aku bertemu ketakutan. Kau tahu, tadi siang, gwe pengen pergi ke WC umum, begitu luar biasanya panggilan alam menggema dalam diri, eh, anjing si Mona lepas! Tetiba lari, trus berhenti di depanku. Anjing itu ngeliatin gwe. Gila!! Keringat dingin gwe keluar, bukan aja kerna nahan boker, tapi gwe takut yang benar- benar setengah mati. Diary, kau tahu, anjing itu, matanya melotot, menggeram kek mo beranak. Tapi, aku ga kalah geram 'coz sakit perut yang makin melilit. Njir, sumpe nih anjing mang posesif ma gwe atau mo ikutan gwe boker apa yha?....
***
Udah rampung membacanya? Yang pasti itu bukan isi diary saya, Sobs. Bukan punya tetangga, bukan juga hasil copyleft saya dari akun lain. Just a simple story of my imagination.
Beberapa dari kita telah terbiasa menulis dalam satu buku tentang perasaan kita, apa pun yang kita rasakan maupun pikirkan. Seolah buku tersebut adalah sobat setia senantiasa yang ga bakal nge-gibah ke siapa pun soal rahasia kita, kecuali buku itu dibaca orang lain.Â
Wah, kalau terbaca orang lain, bisa kacau rasa strawberry deh...xixixi...
Questions!Â
Apakah ketika kita menulis diary itu juga merupakan salah satu bentuk menulis ekspresif? Lalu, apakah hanya mereka yang memiliki masalah dengan pengelolaan emosi saja yang membutuhkan terapi menulis?Â
Hmm, ok otre! Sekarang kita kulitin yuks...
Sebelum melangkah lebih jauh, coba deh kita kunjungi dulu apa sih katarsis yang banyak di sebut-sebut itu?
Sedikit mencolek dari pijarpsikologi.org, katarsis merupakan sebuah aktivitas mengekspresikan segala macam emosi yang dirasakan oleh individu.Â
Entah itu emosi yang dinilai (karena saya percaya semua emosi itu bermanfaat) positif maupun negatif. Emosi yang berpotensi membangun atau menghancurkan dapat kita minimalisir dengan menggunakan proses katarsis.
Terlepas apakah itu katarsis yang berdampak baik maupun yang buruk, ada beragam media katarsis, seperti teman, suatu tempat, makanan, media sosial, buku diary, n so on...
Sebetulnya, semua itu hanyalah fasilitas. Seperti saat kita mengendarai seperda motor atau mobil pribadi. Terserah pada kita, ke mana akan mengarahkan kendaraan tersebut, maupun bagaimana kita memanfaatkan kendaraan tersebut.Â
Bisa jadi, yang kita anggap sebagai katarsis positif dapat berubah menjadi bumerang bagi diri kita, maupun sebaliknya. Proses katarsis yang berubah menjadi bumerang, bukan mendapatkan perasaan nyaman, malahan akan menyakiti diri kita.Â
So, be careful yha, Sobs. Boleh menyendiri di kamar, tapi jangan kelamaan; boleh ngemil saat belajar jelang ujian, tapi jangan lupa treatmil; boleh menulis secara ekspresif, cuman plis lah, perhatikan medianya, Sobs. Teriak-teriak di kamar waktu malam? Well...panci ama piring tetangga bisa-bisa langsung melayang ke kamar kita, Sobs...yha ga sii?
Next, berarti diary bisa donk jadi katarsis? Yupsy! Jelas lah bisa dan mungkin. Yang diutamakan dalam menulis ekspresif adalah menulis segala perasaan kita. Any kind of emotions.
Semenjak kecil, saya tidak mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan lancar. Salah satu kegemaran saya adalah menuliskan segala sesuatu yang ada dalam kepala saya di atas buku.Â
Kelas 5 SD saya sudah memiliki satu buku berisi kumpulan puisi dan 1 buku kumpulan cerpen. Meski sayangnya, pada saat itu saya menulisnya dengan tulisan tangan. Walhasil setelah berpuluh tahun, kini buku tersebut telah rusak. Well,....itulah...
Puisi dan cerpen dapat kita jadikan sebagai katarsis, tempat menuangkan segala emosi atau apapun yang kita pikirkan. Di antara para penyair tersohor pun melakukannya.
Lihat bagaimana King David menulis segala perasaannya dalam bentukan mazmur. How bout King Solomon with Songs of Solomon? Atau Marcella F.P dengan Generasi 90an-nya? Semua tentang pergumulan anak manusia dengan emosi dalam dirinya.
Memang agak sedikit berbeda dengan menulis ekspresif yang digunakan oleh ahli kejiwaan. Dalam menulis ekspresif ditekankan pada perasaan individu, biasanya ada durasi tertentu dalam menulis ekspresif (10-15 menit).Â
Tujuan dari proses katarsis sebagai salah satu jenis terapi yang digunakan oleh para praktisi ahli kejiwaan, adalah untuk menyingkapkan emosi alamiah pada individu yang mengalami gangguan kecemasan.Â
Sebagai penderita gangguan tiroid, terkadang saya mengalami perubahan mood yang signifikan dalam durasi yang pendek karena terganggunya kinerja tubuh secara hormonal. Ini sangat tidak membuat saya nyaman.Â
Hingga kemudian selain membiasakan diri dengan meditasi mindfulness, saya memilih menulis ekspresif sebagai sarana menyalurkan emosi yang berubah-ubah. Entah karena memang kondisi tiroid saya yang sedang terganggu maupun stresor yang datang sewaktu-waktu memicu perubahan emosi saya.
Saya mempunyai satu buku khusus untuk menampung segala yang saya rasakan ketika emosi sedang naik turun. Menulis segala yang saya rasakan sungguh membantu saya kembali relive, seperti satu beban terangkat, meski tidak semua. But it helped indeed.
Sebenarnya, Sigmund Freud-lah yang pertama kali mempunyai ide untuk mengeluarkan emosi secara verbal sebagai alat terapi bagi pasien yang histeria. Nah, oleh Dr. James W. Pennebaker, metode klasik Freud ini kemudian dimodifikasi ke dalam bentuk lain.
Modifikasi Pennebaker pada proses katarsis ini adalah dengan cara mengeluarkan emosi alamiah yang dilakukan individu secara bahasa oral dalam bentuk aktivitas menulis. Bisa jadi self help donk? Betul!
Bentuk aktivitas mumer (murah meriah) ini lambat laun digandrungi oleh manusia kekinian. Pada masa kiwari, tidak sedikit yang menggunakan gawai sebagai media pengganti diary.
Saya pun membuat satu jurnal pribadi dalam ponsel, yang dapat saya akses dengan mudah setiap kali membutuhkan. Entah itu saat dalam perjalanan maupun saat saya dalam kondisi tidak dapat menulis di dalam buku.Â
Sebagai media katarsis, diary (baik dalam wujud buku bergembok maupun gadget bersandi) tentu saja bukan lantas menjadi konsumsi publik.Â
Sebetulnya, tidak ada hukum yang mewajibkan kita menyimpan tulisan ekspresif itu, Sobatku. Namun, karena aktivitas ini menimbulkan efek self reflection, maka ada kemungkinan bagi sebagian orang untuk menyimpannya.Â
Bila saja kita menyimpannya lalu membacanya di kemudian hari, tidak menutup kemungkinan akan memunculkan ide untuk menulis karya yang menghasilkan, baik materi maupun immateri. Ahaha!! Cuan, cuan, cuan.... :)
Satu lagi nih, menurut Dr. Pennebaker, dengan menulis ekspresif individu mampu menyelaraskan kinerja kognitif dan emosi individu secara berbarengan.Â
Artinya, bila kognitif dan emosi bekerja berdampingan, maka maka aktivitas kita akan menghasilkan output yang lebih maksimal. Wuidiiih, keren ga tuh, Sobs.
Nah, tunggu apalagi Sobatku. Daripada overthinking, mikirin hal yang ga jelas alangkah baiknya bila kita memanusiawikan diri kita sendiri dengan mengakui semua emosi tanpa harus merugikan pihak lain.
Sebagai catatan nih, Sobs. Penting untuk kita ketahui, bagi individu dengan gangguan depresi entah ringan atau pun berat, sangat disarankan untuk menemui ahli kejiwaan. Karena meskipun tercipta proses relieve, namun para ahli lah yang dapat menentukan penerapan therapy healing yang tepat bagi tiap-tiap penderita gangguan depresi.Â
Kay....yuks kita bersama-sama belajar self care, peka terhadap emosi kita semenjak dini. Ingat, jiwa kita bukan tong sampah tempat menimbun perasaan yang kita tekan habis-habisan, bahkan mungkin kita acuhkan begitu saja hanya gegara ingin terlihat okay di depan banyak orang.
Belajar jujur pada diri sendiri. Kenali emosi kita. Beri jeda sebelum kita dengan leluasa menyingkap emosi yang datang sesaat dengan menyakiti diri sendiri atau bahkan orang-orang di sekitar kita.Â
Have a nice day, Sobatku. Selamat berdamai dengan emosi kita.
Salam,
Penulis
Sumber :
1. https://pijarpsikologi.org/salah-satu-cara-mengungkapkan-emosi/
2. Pennebaker, J.W. (1997). Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotion. New York: Guilford Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H