Memasuki ruangan, suasana terasa syahdu karena kelengangan yang ternampak. Hanya beberapa petugas KPPS lengkap dengan segala prasarananya.Â
Ganjil. Karena sudah sesiang ini suasana di beberapa TPS tidak menampakkan keramaian. Saya sempat memerhatikan sejenak, tidak banyak yang menorehkan paraf pada daftar hadir. Ternyata, seorang kawan melegalkan pendapat saya saat kami kebetulan bertemu di meja hik kampung kami.
"Lhah Mbak, ga usah milih aja sudah tentu menang kok mereka (baca: kubu Gibran). Lha kalau misalnya lawannya kotak kosong, saya mungkin malah ikutan milih, Mbak,"ujar mas Heru, salah seorang driver ambulans RS Soekarno Surakarta.Â
"Gimana TPS ga sepi, Mbak? Lha wong kondisi pandemi seperti ini kok masih dipekso, disuruh milih. Kalau saya malah merindukan serangan fajar dari Bajo, eh, tiwas ditunggu malah ndak dapet," timpalnya lagi.Â
" Owalah mas, mas, harta Pak Bagyo itu kan cuma Rp 1,9 M, mana cukup buat bikin amplop seisinya..." kelakar seorang anak muda, entah siapa namanya saya lupa.
Pilkada 2020 ini memang menorehkan sejarah tersendiri bagi kota yang terkenal sebagai The Spirit of Java. Tidak dapat dipungkiri, sejarah mencatat bahwa Kota Bengawan telah menjadi magnet tersendiri bagi situasi politik negri ini.Â
Kota kecil kami bukan tempat yang istimewa. Tidak terlalu banyak ornamen gunung, bukit, maupun lembah indah nan menghijau. Namun, sedjak jaman kolonial Belanda berkuasa, Solo telah menjadi target sasaran banyak pihak.Â
Masih ingatkah kita pada saat ibu kota Indonesia pasca pidato kemerdekaan RI berpindah ke Yogyakarta? Maka pada waktu itu seluruh kekuatan militer negri ini pun berpindah ke Kota Solo.Â
Selain sebagai pusat militer, saat itu Solo berkembang menjadi kota bisnis dengan banyaknya pelabuhan yang dibangun di sekitar Kota Solo. Sehingga, tak ayal Kota Solo terkenal sebagai Kota Pesisir. Anda kaget? Saya juga, hehehe..
Itu sebagian faset dari sejumlah fakta sejarah mengapa kota mungil Solo menjadi barometer politik di nusantara.