Judul yang sangat memualkan perut ini terpaksa saya pakai, karena memang pil pahit inilah yang harus saya telan sepenuhnya. Topik yang dari dulu tidak ingin saya sentuh akhirnya menyelinap pula di beranda pondokan Kompasiana saya.
Solo, 9 Desember 2020 sekitar pukul 09:58
Pagi menjelang siang, hari yang cerah. Anak sulung saya berkaca, berdandan ala remaja dewasa. Saya tahu pasti, batinnya sumringah seperti hendak dijemput sang pacar ke tempat hang out mereka.Â
"Ayo, Mam...cepetan. Kita musti datang ke TPS. Undangannya kan jam 7. Ini sudah lebih," sahutnya seraya mematut dirinya di depan hp, apalagi kalau bukan ber-selfi ria.
Maklumlah, ini kali pertama ia bersama 1000 pemilih pertama di kota Solo menggunakan hak pilihnya, hak prerogatifnya.Â
Busyet...padahal, kaki saya sudah enggan melangkah. Oh, anakku, andai saja bukan karena ingin mendidik untuk menggunakan hak warga negaramu, aku lebih memilih bergulat dengan wajan dan panci, memasak kare ayam plus jamur crispy kesukaanmu.
Semalam ia begitu sibuk menelanjangi kampanye Mas Gibran-Teguh vs Pakdhe Bagyo- Suparjo akhir November lalu di salah satu kanal YouTube.Â
"Biar tahu programnya dulu, Mam," sahutnya di hadapan layar gawai.
Semangatnya yang begitu membara, memaksa hati saya mengikuti maunya dengan sepenuh doa, "Ya Tuhan, beri kami nurani, cerdik dan tulus memilih yang terbaik, meski hanya ada yang terburuk di hadapan kami," meminjam petikan tips memilih ala Romo Frans Magnis Suseno.
Layaknya Siti Nurbaya yang hanya mampu menerima pilihan, kami menuju TPS yang jaraknya ditentukan KPPS. Di perjalanan, kami masih saja melihat ada beberapa stiker kedua paslon masih tertrembel di tiang listrik dekat rumah kami.
Dengan segala macam protokol kesehatan yang saya yakin 100%, 24 karat, sudah seragam di berbagai daerah Pilkada berlangsung, maka tidak usah saya ragukan lagi segala kesiapan yang telah matang ternampak jelas
Memasuki ruangan, suasana terasa syahdu karena kelengangan yang ternampak. Hanya beberapa petugas KPPS lengkap dengan segala prasarananya.ÂGanjil. Karena sudah sesiang ini suasana di beberapa TPS tidak menampakkan keramaian. Saya sempat memerhatikan sejenak, tidak banyak yang menorehkan paraf pada daftar hadir. Ternyata, seorang kawan melegalkan pendapat saya saat kami kebetulan bertemu di meja hik kampung kami.
"Lhah Mbak, ga usah milih aja sudah tentu menang kok mereka (baca: kubu Gibran). Lha kalau misalnya lawannya kotak kosong, saya mungkin malah ikutan milih, Mbak,"ujar mas Heru, salah seorang driver ambulans RS Soekarno Surakarta.Â
"Gimana TPS ga sepi, Mbak? Lha wong kondisi pandemi seperti ini kok masih dipekso, disuruh milih. Kalau saya malah merindukan serangan fajar dari Bajo, eh, tiwas ditunggu malah ndak dapet," timpalnya lagi.Â
" Owalah mas, mas, harta Pak Bagyo itu kan cuma Rp 1,9 M, mana cukup buat bikin amplop seisinya..." kelakar seorang anak muda, entah siapa namanya saya lupa.
Pilkada 2020 ini memang menorehkan sejarah tersendiri bagi kota yang terkenal sebagai The Spirit of Java. Tidak dapat dipungkiri, sejarah mencatat bahwa Kota Bengawan telah menjadi magnet tersendiri bagi situasi politik negri ini.Â
Kota kecil kami bukan tempat yang istimewa. Tidak terlalu banyak ornamen gunung, bukit, maupun lembah indah nan menghijau. Namun, sedjak jaman kolonial Belanda berkuasa, Solo telah menjadi target sasaran banyak pihak.Â
Masih ingatkah kita pada saat ibu kota Indonesia pasca pidato kemerdekaan RI berpindah ke Yogyakarta? Maka pada waktu itu seluruh kekuatan militer negri ini pun berpindah ke Kota Solo.Â
Selain sebagai pusat militer, saat itu Solo berkembang menjadi kota bisnis dengan banyaknya pelabuhan yang dibangun di sekitar Kota Solo. Sehingga, tak ayal Kota Solo terkenal sebagai Kota Pesisir. Anda kaget? Saya juga, hehehe..
Itu sebagian faset dari sejumlah fakta sejarah mengapa kota mungil Solo menjadi barometer politik di nusantara.
Kembali lagi, Pilkada tahun 2020 benar-benar membuat saya dan mungkin sebagian warga Solo enggan untuk melangkahkan kaki, membiarkan jari kelingking kami ditetesi tinta ungu.Â
Selain karena alasan pandemi, kesan kepastian raihan kursi panas dinasti menjadi alasan kuat kami enggan mendatangi TPS. Jelaslah cawalkot lulusan Management Development Institute of Singapore, kini melenggang di jalan tol oligark.
Rakabuming Raka, owner Chilli Pari kini telah melebarkan sayap profesi dengan diraihnya suara sementara lebih dari 80 persen dari total suara yang masuk menurut hitung cepat lembaga survei Voxpol Center maupun Charta Politika.
Ya, boleh dikatakan suara kotak kosong sengaja dipecah, sedikit prosentase dialihkan ke paslon Bajo. Dugaan inilah yang sempat menjadi gunjingan massa. Silakan saja mengelak dari tudingan sosial. Pada kenyataannya, politik dinasti telah dilegalkan dan semakin berakar kuat di negri pertiwi. Sungguh.....!!!
Kejadian Medan mungkin sedikit berbeda, meski sama dalam kajian empuknya kursi dinasti. Fragmen ini terlihat pada penghitungan suara sementara yang pula menyatakan secara de facto versi real count KPU 10/12/2020 pukul 01:55 WIB pasangan Bobby-Aulia yang menang tipis 53,2% diatas lawannya Akhyar-Salman 46,8%  dari total suara sementara yang masuk sebesar 173.933 suara.
Bagaimana dengan hasil hitung cepat paslon Gibran-Teguh vs Bajo? Rentang yang sangat lebar hadir sebagai penegas batas penguasa versus wong cilik. Tidak ada campur tangan dinasti?Â
Sejak penjaringan cawalkot, nama Gibran Rakabuming Raka sempat terlempar keluar dari seleksi awal. Namun, di tengah masa rekomendasi, Gibran berhasil memenangkan hati Megawati dengan menyingkirkan calon tunggal yang diusung oleh PDIP, Poernomo.
Saya masih ingat, saat beliau didaulat menjadi timses Mas Gibran, Bapak Wakil Walikota incumbent ini sempat berujar, "Saya ndak usah jadi timsesnya, Mas Gibran sudah pasti menang," ungkapan ini disampaikan Pak Poernomo kala harus menjalani karantina mandiri selepas menemui Bapak RI 1 di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana dengan Pakdhe Bagyo? Wong cilik lulusan SMA via kejar paket C ini, bagaimana pun juga "harus terpaksa" menelan empedu politik.Â
Sedjak awal penjaringan cawalkot, beliau yang maju di bawah dukungan Yayasan Tikus Pithi bersama 38.831 KTP, sempat ditolak oleh panitia, dengan alasan tidak memenuhi kuota pendukung sebagai syarat majunya calon independen. Namun, entah dari mana datangnya, sentuhan "tangan-tangan ajaib" akhirnya membuat beliau kembali berada di atas panggung kontestasi Pilkada Solo.
Sebenarnya ada beberapa daerah pemilihan di Jawa Tengah yang berhadapan dengan kotak kosong. Alias, hanya ada satu paslon tunggal peserta Pilkada 2020. Di antaranya, Boyolali, Sragen, Kebumen, Wonosobo, dan Grobogan.
Tapi, apakah Mas Gibran di Solo juga harus menang atas kotak kosong? Lhak yha, agar memanusiawikan kontestasi politik, maka kotak kosong harus diganti dengan lawan tanding meski terkesan ala kadarnya. Biar kelihatan gayeng, bukan terkesan layaknya aklamasi. Topik inilah yang menghiasi Pilkada Solo rasa pandemi.
Saat tulisan ini dibuat, pasangan Bajo hanya meraih 12,8% sangat jauh berbeda dengan raihan Gibran-Teguh 87,2% versi quick count Charta Politika, Rabu 9/12/2020 pukul 15:39 WIB.
Sedangkan hasil hitung real count dari KPU mmenyatakan paslon Gibran-Teguh mendulang 86,3% sedang paslon Bajo hanya mendapat 13,7% suara dari total suara yang masuk sebesar 107.161 suara.
Bersyukur, untuk Pilkada kali ini Solo kondusif, keamanan anteng. Semua terkendali. Hanya Covid-19 yang tidak mampu kami kendalikan penyebarannya.
Pilkada Solo dengan berbagai temuan kasus ganjil telah usai. Bahkan kami rakyat kecil pun tidak banyak menuntut aksi tegas anggota Badan Pengawas Pemilu di Kota Solo sebagai follow up atas laporan-laporan yang telah sampai di meja kerja beliau.
Berharap Mas Gibran yang lulusan Singapore itu mampu mengatasi segala polemik yang muncul, dengan tindakan yang lebih konkrit dari segala promosi yang ia beberkan saat debat Pilkada bulan November kemarin.Â
Berharap Mas Teguh yang telah malang melintang di dunia politik, menjadi anggota DPRD Kota Solo sejak tahun 2009 mampu bekerja dengan solid bagi mentasnya Kota Solo dari keterpurukaannya di masa pandemi ini.
Berharap pula, jangan sampai Pilkada ini menjadi klaster Covid-19 yang baru. Rumah sakit Solo sudah mulai penuh dengan pasien penderita covid-19. Benteng Vastenberg disiagakan bagi para pendatang dari luar kota Solo. Sedangkan asrama haji Donuhudan di Kabupaten Boyolali dipersiapkan sebagai tempat isolasi pasien Covid-19.
Kami sudah pasrah, siapa pun yang menjadi pemimpin kami. Jari kelingking sudah kami biarkan ditetesi tinta ungu. Bahkan saudara kami yang sakit pun dengan suka dan rela telah memberikan suaranya.Â
Bila empedu itu kembali menjadi makanan wong cilik, maka biarkan wong cilik seperti kami berani berharap, agar masa karantina atas kota Solo segera usai. Tingginya jumlah temuan kasus Covid-19 baru segera melandai lantas berlalu. Pak Rudy segera selesaikan masa karantina mandiri beliau di Lojigandrung, segera pulih kesehatannya, dan kembali beraktivitas.
*Sumber :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H