Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagiamu adalah Bahagiaku? Engga Juga Tuh

14 Oktober 2020   21:19 Diperbarui: 15 Oktober 2020   00:01 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kebahagiaan itu milik kita, tanggung jawab kita | via pixabay.com

"Manusia seharusnya tidak bertanya tentang makna hidupnya, melainkan sadar bahwa dialah yang akan ditanyai." (Viktor E. Frankl)

Ahay, here we go again...ketemu lagi nih. 

Biar ga monoton, kuy, hari ini kita obrolin yang receh ajha yah, yang penting engga reseh ko ...

Gimana hari-harimu, Kawan? Sehat-sehat ajha, kan? Well, hope so. Kalaupun ada yang sedang berjuang dengan sakit dan lemah tubuh, stay strong yha.

Somehow, I remember these words...

Ingat, hati yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah akan mengeringkan tulang.

Sebenernya ide ini sudah numpuk di lobus frontal saya sedjak dinosaurus belajar ketawa. Alias ide jadul. Cuman, beberapa hari terakhir kok saya jadi ngerasa topik ini penting juga untuk dibuka lagi. Hanya untuk sekedar mengingat-ingat.

Ga gampang menyikapi kondisi terakhir ini. Pandemi, sikon yang tak pasti, keamanan, kekuatiran, ketakutan, bingung ga ngerti besok musti bagaimana, dan berbagai situasi yang dapat kita jadikan alasan mengapa kita sulit untuk bahagia. 

Bahagia.... Ya, denting pagi saya hari ini tetiba membawa saya pada kata, bahagia. Bukankah setiap kita menginginkannya? 

Standarnya sih boleh saja berbeda-beda. Karena setiap kita, menurut Mark Manson blogger tenar penulis buku "The Subtle Art of Not Giving a F_ck_" , setiap orang memiliki standar masing-masing untuk menilai segala sesuatunya. Termasuk tentang kebahagiaan. 

Masih dalam buku renyah sarat manfaat itu, Mark Manson memberi contoh bahwa ada seseorang yang lebih menikmati hidup dengan berkelana dari satu negara ke negara lain. 

Ada pula yang memaknai kebahagiaan dengan hidup menyendiri. Terisolasi dari ramainya kerumunan orang. 

Kita tidak dapat menyalahkan mereka dalam memaknai dan menjalani kebahagiaan mereka bukan? 

Mungkin bagi kita yang terbiasa hidup menetap di satu tempat, punya anak, suami, istri, stay di sebuah daerah, berkomunitas dengan tetangga dan orang kebanyakan, akan lebih nyaman bila dibandingkan dengan pilihan hidup kedua orang di atas. 

Tapi kenyataannya bagi beberapa orang, mereka lebih nyaman dan menemukan kebahagiaan untuk memilih menghidupi kehidupannya melalui cara yang berbeda dengan kita.

Bukankah ini hanya masalah pilihan? Bagi saya sendiri, misalnya. Dapat hidup tenang adalah pilihan. Tenang batin, tenang rasa. Hanya seperti itu yang saya damba. Mungkin ga seru, yha? Belajar untuk hidup dengan cukup. Cukup saja sudah cukup. 

Lalu apakah kita tidak boleh mempunyai target? Tentu saja boleh. Sila punya target. Sila menentukan kebahagiaan kita masing-masing. Seperti yang saya tulis di awal. Standar kita berbeda antara satu dengan yang lain.

Nah, sebetulnya apa yang terjadi pada diri kita saat kita bahagia? Yuks kita belajar dari semesta, diri kita sendiri.

3+ Hormon Sebagai Bahan Kimia Penyusun Kebahagiaan

Kay, ini mengenai area rasa. Nyenggol dikit soal hormon yuks. Ini saya pelajari saat mood swings menekan saya habis-habisan. 

Pada garis besarnya, kebahagiaan tidak berdiri sendiri. Ia adalah rasa yang terdiri dari beberapa komponen, antara lain:

Dopamine. It's all bout pleasure and reward. Hormon ini terlepas ketika kita berhasil melakukan sesuatu yang kita idamkan. Ada perasaan senang saat kita berusaha keras Dan saat kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.

Seperti misalnya kita pengen nulis yang artikel yang super keren. Trus kita berusaha sekuat tenaga melakukannya, lalu akhirnya terpilih menjadi Artikel Utama dengan jumlah viewer ratusan ribu orang. Hedew, senengnyaaaa, (ahahay kapan tuh? ) Nah, pada saat itulah dopamin keluar, kemudian menghasilkan perasaan senang dalam diri kita.

Oksitosin. Hmm, hormon ini biasanya berkaitan dengan perasaan love and trust. Hormon ini biasanya memunculkan perasaan senang pada seorang ibu yang baru saja melahirkan bayinya, atau pada saat sang ibu menyusui bayinya. 

Hormon ini menimbulkan pula perasaan senang berkumpul dengan keluarga, senang merasa dimiliki oleh keluarga. 

Si oksitosin ini pun hadir, saat kita sedang jatuh cinta. Hormon inilah yang bikin kita kek deg-degan, muka memerah, keringetan waktu deket gebetan ( eits...adakah yang ngerasa lagi fallin love? congrats yha...)

Serotonin. Pernahkah mentemen berbagi sesuatu ke sesama yang sedang dalam kondisi membutuhkan pertolongan? Oh come on, what a question :v Pastinya udah pernah lha yha...

Mungkin mentemen pernah mengunjungi panti jompo atau panti asuhan? Suatu kali saya pernah mengunjungi mereka bersama beberapa teman. Sesaat setelah kami melakukan beberapa kegiatan bersama mereka, tak lupa, kami memberikan pelukan hangat bagi mereka. Sensasi kehangatannya tak terlupakan hingga kini. Senang dan haru seperti itulah yang terjadi bila hormon social-able ini bekerja.

Ada sebuah hasil penelitian dari mahasiswa Universitas Brawijaya berkaitan dengan hormon serotonin beberapa waktu lalu, yang cukup mengesankan. Dikatakan dalam penelitian tersebut, bahwa gending Jawa mampu menghasilkan gelombang suara supersonik, yang dapat mempengaruhi keluarnya hormon serotonin. 

Lebih lagi dinyatakan, bahwa alunan musik Jawa yang pelan dan teratur akan menstimulus hipothalamus untuk memproduksi serotonin. Emejink ya, Kawans...promo budaya sendiri nih, makanya cintai budaya kita sendiri, Brader, Sista...

Well, sebenarnya masih ada unsur penyusun bahagia lainnya, seperti hormon endorfin, yang bertugas sebagai pain killer; bila masalah datang, hormon inilah yang akan membawa kita untuk memutuskan menggunakan fight or flight system. 

Bahagia tidak mungkin hanya terdiri dari hormon dopamin saja, atau serotonin saja, atau endorfin saja. Tidak, Alfredo, tidak....

Mereka harus bekerja sama sehingga menghadirkan satu rasa bahagia yang sempurna. Memang harus begitu, Ceripa.....

Ini nih Saya kasih contoh kasus yang lain, yha. Andai kita ingin mengikuti blogg competition di K, kita tertarik. Lalu kita berusaha sekuat tenaga memeras peluh dan aksara, serta memadukan teori dengan imaji, maka sampai di titik inilah dopamin bekerja dalam otak kita, sehingga kita merasa seru dan senang saat membuat sebuah artikel yang begitu cetar membahana badai. 

Trus, waktu kita jadi juara 1 tuh, ada rasa gembira tiada tara. Nah, itu si dopamin juga yang kerja.

Lalu, karena kita cukup ramah ama temen-temen Kers yang lain, tanpa ragu dan malu, mereka beri kita pujian di kolom komentar, duuuh senangnyaaaa, "Bro, traktir makan-makan yuk". Walhasil, kita traktir tuh seluruh keluarga besar Kers, how lovely, ada perasaan hangat yang keluar, itulah kerjaan si serotonin.

Eh, keinget juga ada anak, istri, enyak, babe, si adek, si kaka, engkong, semua orang serumah dah, sisihin duit lalu berbagi ama mereka, ada rasa senang saat bersama keluarga, inilah oksitosin beracara.

Gitu ceritanya....

Coba bayangkan andai di hidup kita ini hanya dopamin dalam kadar yang tinggi saja yang ada di syaraf otak, wuiiih, bisa-bisa kita kena trust issue, ga mudah percaya pada orang lain karena kurangnya hormon oksitosin.

Atau seberapa banyak di antara kita yang sering kena sakit asam lambung meskipun pola makan kita teratur? Hati-hati, Bapak, Ibu sekalian. Mungkin kadar serotonin dalam lambung kita lagi drop. Karena hormon ini selain merupakan salah satu dari neurotransmitter ke otak --sebagai salah satu komponen bahagia kita, serotonin kerja juga di lambung.

Kurangnya serotonin dalam tubuh, yaitu di dalam otak pun akan berakibat migraine. (believe me it is so painful). 

Ya, saya bukan ingin membahas penyakit yang diakibatkan kelebihan atau kekurangan hormon. Saya bukan dokter. Hanya ingin berbagi selagi saya mampu. That's all...

Kebahagiaan Adalah Pilihan dan Tanggung Jawab Siapa?

So, kebahagiaan bukanlah rasa gembira atau senang yang datang dari satu komponen saja, bukan? Okay, kita semua tahu itu, Sobat. Pertanyaannya, kebahagiaan itu tanggung jawab siapa? 

Yuk, coba selidiki. Apakah selama ini kita bertanggung jawab atas setiap emosi kita sendiri, atau kita lebih sering melemparkan tanggung jawab kebahagiaan ini pada orang lain? 

Apakah kita lebih sering menginginkan supaya pasangan kitalah yang membahagiakan kita; kita ingin merekalah yang harus membuat kita senang dan nyaman, ataukah kita memilih untuk bertanggungjawab pada kebahagiaan kita sendiri? 

Bertanggungjawab. Ini mengapa saya mengutip ucapan Viktor Frankl sebagai lead artikel ini. Bahwa setiap manusia akan ditanyai oleh hidup. Ia harus memilih dan bertanggungjawab pada pilihannya itu, meskipun kita tidak dapat mengetahui dengan pasti konsekuensi dari pilihan kita tersebut.

Begitu pula dengan kebahagiaan. Bila kebahagiaan adalah pilihan kita, maka sudah seharusnya kebahagiaan itu menjadi tanggung jawab kita sendiri, bukan? Lalu apa yang selama ini telah kita lakukan? 

Alam menyediakan segala komponen untuk berbahagia. Dalam diri kita. Apabila kebahagiaan yang kita pilih, maka kebahagiaan tersebut pula yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita masing-masing.

Bila kita telah mampu bertanggungjawab pada kebahagiaan kita sendiri, maka bukan hal yang sulit bila kita membagikannya untuk orang lain, bukan?

Selamat berproses, selamat memilih, selamat berbahagia...

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun