Masih dalam buku renyah sarat manfaat itu, Mark Manson memberi contoh bahwa ada seseorang yang lebih menikmati hidup dengan berkelana dari satu negara ke negara lain.Â
Ada pula yang memaknai kebahagiaan dengan hidup menyendiri. Terisolasi dari ramainya kerumunan orang.Â
Kita tidak dapat menyalahkan mereka dalam memaknai dan menjalani kebahagiaan mereka bukan?Â
Mungkin bagi kita yang terbiasa hidup menetap di satu tempat, punya anak, suami, istri, stay di sebuah daerah, berkomunitas dengan tetangga dan orang kebanyakan, akan lebih nyaman bila dibandingkan dengan pilihan hidup kedua orang di atas.Â
Tapi kenyataannya bagi beberapa orang, mereka lebih nyaman dan menemukan kebahagiaan untuk memilih menghidupi kehidupannya melalui cara yang berbeda dengan kita.
Bukankah ini hanya masalah pilihan? Bagi saya sendiri, misalnya. Dapat hidup tenang adalah pilihan. Tenang batin, tenang rasa. Hanya seperti itu yang saya damba. Mungkin ga seru, yha? Belajar untuk hidup dengan cukup. Cukup saja sudah cukup.Â
Lalu apakah kita tidak boleh mempunyai target? Tentu saja boleh. Sila punya target. Sila menentukan kebahagiaan kita masing-masing. Seperti yang saya tulis di awal. Standar kita berbeda antara satu dengan yang lain.
Nah, sebetulnya apa yang terjadi pada diri kita saat kita bahagia? Yuks kita belajar dari semesta, diri kita sendiri.
3+ Hormon Sebagai Bahan Kimia Penyusun Kebahagiaan
Kay, ini mengenai area rasa. Nyenggol dikit soal hormon yuks. Ini saya pelajari saat mood swings menekan saya habis-habisan.Â
Pada garis besarnya, kebahagiaan tidak berdiri sendiri. Ia adalah rasa yang terdiri dari beberapa komponen, antara lain: