Ruang kantor saya menjadi agak ramai kemarin siang. Bukan karena ada perayaan makan gratis di kedai sate kambing Bu Hj. Bedjo yang tersohor itu. Bukaaan....
It's all bout tayangan yang kurleb seminggu yang lalu menjadi viral di medsos. Yha, lagi-lagi soal publik figur. Emang hot kalo lagi ngegibah dengan tema tipis-tipis, tapi ketebalan sensasi hotnya lebih tebhel dari gibah Mam Tedjo...
Issue kami seputar kasus antara Betrand Peto, atau biasa dipanggil Nyonyo sehubungan dengan tayangnya Ruben bersama Nyonyo di salah satu acara talk show di TransTV beberapa waktu yang lalu.
Cara bercanda Andre Taulani sebagai host acara tersebut menjadi viral setelah potongan video yang menunjukkan jokes garing ala Andre Taulani telah dianggap "keterlaluan" oleh para netizen. Begitu banyak dukungan netizen kepada Nyonyo ternyata tidak memadamkan semangat Andre untuk tetap melawak ala-ala dia.
Andre yang telah berulang kali berurusan dengan "lawakannya" pun untuk kali ini tidak melayani komentar bernada nyinyir para netizen.
Yang membuat saya tertarik membahas hal ini dengan teman-teman adalah setelah secara penuh kami melihat tayangan ulang acara tersebut, maka kami menciutkan permasalahan pasca Andre melontarkan kalimat,"Kamu iya, kan?" kepada Nyonyo. Iya apa? Iya sebagai penegasan bahwa Nyonyo adalah anak adopsi - anak pungut dalam bahasa Andre- Ruben dan Sarwendah.
Reaksi Nyonyo setelah pernyataan Andre itulah yang membuat kami nenjadi mengerutkan jidat. Body language Nyonyo yang menarik diri sedikit ke belakang dengan muka yang tidak dapat dikatakan sebagai reaksi "senang". Ada guratan kaget dan tersinggung; mungkin agak marah. Ah, kami pikir itu hipotesa kami saja.
"Itu kan ga ada di briefing,"Â tukas Nyonyo singkat, dengan raut yang terlihat masam. Namun begitu, Ruben tidak serta merta turut membela Nyonyo. Ia menjawab dengan tenang semua pertanyaan Sule.
Ok,...Stop right here.Â
Kisah Nyonyo di atas mungkin telah usai dengan ditepisnya semua protes netizen pada Andre. Namun demikian, apa yang dapat kita tarik dari peristiwa ini adalah cara penyampaian fakta yang dilakukan Andre - entah itu jokes yang terkonsep atau improve - adalah fakta yang seringkali kita jumpai dalam dunia parenting.
Orang dewasa seringkali melakukan perudungan kepada anak-anak bahkan tanpa mereka sadari. Tanpa sadar? Ya. Tepat sekali. Mari coba lihat beberapa contoh di bawah ini.
"hei, mengapa adek nilainya ga sebagus kakak?"
"ayolah, memangnya ga ada baju lain yang lebih menarik selain baju itu?"
"lihat foto ini, anakku yang cowok aku pake'in baju cewek. Lucu, yha?"
"hhhh!! cuman kek gitu ajha nangis. Dasar cengeng"
Bagaimana? Pernahkah kita menjumpai mereka yang di sekitar kita mengatakan atau melakukan hal yang sama?Â
Mungkin bagi kita orang dewasa hal yang seperti itu hanyalah sebuah banyolan yang menghibur kita. Mungkin terbersit dalam benak kita, well... itu hal yang biasa. Hmm, sungguh ironis benar-benar menggambarkan betapa dewasanya kita.
Sobat, mungkin kita lupa satu hal.
Untuk menyakiti tubuh, kita butuh energi lebih. Untuk menyakiti jiwa, kita hanya butuh memperkatakan kata-kata yang menusuk perasaan.
Verbal abuse terkadang tanpa disadari telah kita anggap sebagai hal yang biasa dan bukan hal yang absurd kita pantaskan pada anak kita. Mashaaak? Well...take a look around us. Atau, kita beranggapan itu sebagai salah satu cara mendidik anak-anak kita.
Dengan dalih untuk menggembleng mental anak-anak terkadang verbal abuse biasa kita terapkan pada anak-anak. Sungguh ironis !!!
Seberapa jauh verbal abuse ini berpengaruh pada anak-anak? Let's check it out...
Mengulik Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, Stephany Hamarman dan William Bernet menyebutkan definisi dari verbal abuse adalah sebuah bentuk kekerasan yang dapat melukai harga diri dan perasaan orang lain melalui kata-kata.
Bahkan bila diperbolehkan, hingga beberapa waktu terakhir ini, secara tidak sadar, orang tua melakukan verbal abuse dengan mengunggah foto-foto yang disertai caption yang daat mempermalukan anak di ranah publik.
Bentuk-bentuk konkrit dari verbal abuse dapat kita jumpai pada saat orang dewasa berteriak, menjerit, memaki, mengancam anak, mempermalukan anak di ranah publik, memperolok anak-anak -termasuk para remaja - dengan perkataan-perkatan bernada mengejek, mengatakan bodoh, anak tidak baik, jelek, atau bisa juga menyatakan bahwa segala kegagalan dan kesalahan yang terjadi selalu bersumber pada anak-anak.
Anak-anak adalah plagiat ulung dari setiap ucapan dan tindakan kita. Apabila kita sebagai orang dewasa secara terus-menerus melakukan verbal abuse sebagai sebuah kebiasaan, maka verbal abuse ini pulalah yang akan mereka wariskan pada anak-anak mereka di masa yang akan datang.
Lha tapi bukankah kita perlu rotan untuk mengajarkan pada anak tentang kedisplinan?
Sebelum kita menggunakan verbal abuse sebagai opsi, lha markica...mari kita baca lebih jauh tentang dampak perlakuan verbal abuse pada anak.
Pertama, kebiasaan verbal abuse pada anak menghambat pertumbuhan self esteem pada anak. Kata-kata yang merendahkan kemampuan anak, mengungkit kesalahannya, arau  mungkin body shaming akan mengakibatkan anak memilikicitra diti yang negatif, yang diikuti oleh rasa minder.
Kedua, kebiasaan ini akan menghambat perkembangan sel-sel otak anak. Teriakan, bentakan yang kita ungkapkan pada anak akan mengakibatkan anak dalam keadaan yang terancam.
Pernahkah suatu ketika kita berusaha menjelaskan kepada anak tentang tugas sekolahnya, akan tetapi si anak tidak kunjung mengerti. Atau dengan berjuta cara kita mencoba untuk menjelaskan bahaya terlalu lama di depan gawai, tetapi anak tersebut malah ngeyel, ngotot dengan pendiriannya. What will we do? Â
Kelelahan fisik dan psikis orang dewasa acapkali memicu perdebatan, kemudian berakhir pada kemarahan berwujud teriakan, bahkan mungkin bentakan yang menghasilkan kata-kata kasar yang sesungguhnya tidak kita inginkan.Â
Akibat dari verbal abuse ini memunculkan rasa takut; menyebabkan anak tidak dapat berpikir panjang sehingga seringkali faktor ini mampu memicu anak untuk bersikap lebih agresif.
Ketiga, tindakan verbal abuse mempengaruhi emosi anak. Anak yang bersikap agresif biasanya akan diikuti dengan terganggunya hubungan sosial si anak. Tindakan agresif pada beberapa anak menjadikan ia bermusuhan dengan orang dewasa.
Selain menunjukkan sikap agresif, pada early adolescent (11- 14 tahun) dan middle adolescent (15-17 tahun) yang terdampak verbal abuse biasanya akan merasakan cemas, sedih, rendah diri, prestasi di sekolah menurun, susah beradaptasi atau bersosialisasi dengan lingkungan sosial.
Kebanyakan dari middle adolescent yang melakukan eksplorasi pada euforia adiksi drugs and alcohol, serta penyimpangan sosial seperti free sex, merupakan upaya untuk melarikan diri dari kejenuhan dan rasa frustrasi yang mereka anggap sebagai solusi dari stresor yang datang.Â
Kabar buruknya, stresor tersebut salah satunya berasal dari kebiasaan verbal abuse orang dewasa; orang tua yang sudah seharusnya memberikan pelukan dan perlindungan bagi pertumbuhan mereka.
Apakah kita pun akan melanjutkan, pula mewariskan verbal abuse terhadap anak-anak kita? This is our choices now. It's all in our own hand. Sekali lagi, anak-anak hanyalah plagiat ulung.
Rotan untuk mendidik mereka hanyalah sebentuk "alat" yang dapat hadir dalam berbagai wujud, bukan hanya dalam bentuk teriakan. Apabila maksudnya hanya untuk bercanda dengan anak, apakah telah habis kreatifitas kita sebagai orang dewasa untuk memilih kata, sehingga ejekan pun dipilih sebagai rujukan terbaik?
Pertanyaan saya, apa untungnya bagi kita? Adakah verbal abuse ini berfaedah bagi pertumbuhan anak kita?Â
*Solo....benarkah anak adalah harta terindah bagi kita? Ataukah hanya sekedar objek pemikul tanggung jawab ekspektasi dan emosi kita?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H