Ketiga, tindakan verbal abuse mempengaruhi emosi anak. Anak yang bersikap agresif biasanya akan diikuti dengan terganggunya hubungan sosial si anak. Tindakan agresif pada beberapa anak menjadikan ia bermusuhan dengan orang dewasa.
Selain menunjukkan sikap agresif, pada early adolescent (11- 14 tahun) dan middle adolescent (15-17 tahun) yang terdampak verbal abuse biasanya akan merasakan cemas, sedih, rendah diri, prestasi di sekolah menurun, susah beradaptasi atau bersosialisasi dengan lingkungan sosial.
Kebanyakan dari middle adolescent yang melakukan eksplorasi pada euforia adiksi drugs and alcohol, serta penyimpangan sosial seperti free sex, merupakan upaya untuk melarikan diri dari kejenuhan dan rasa frustrasi yang mereka anggap sebagai solusi dari stresor yang datang.Â
Kabar buruknya, stresor tersebut salah satunya berasal dari kebiasaan verbal abuse orang dewasa; orang tua yang sudah seharusnya memberikan pelukan dan perlindungan bagi pertumbuhan mereka.
Apakah kita pun akan melanjutkan, pula mewariskan verbal abuse terhadap anak-anak kita? This is our choices now. It's all in our own hand. Sekali lagi, anak-anak hanyalah plagiat ulung.
Rotan untuk mendidik mereka hanyalah sebentuk "alat" yang dapat hadir dalam berbagai wujud, bukan hanya dalam bentuk teriakan. Apabila maksudnya hanya untuk bercanda dengan anak, apakah telah habis kreatifitas kita sebagai orang dewasa untuk memilih kata, sehingga ejekan pun dipilih sebagai rujukan terbaik?
Pertanyaan saya, apa untungnya bagi kita? Adakah verbal abuse ini berfaedah bagi pertumbuhan anak kita?Â
*Solo....benarkah anak adalah harta terindah bagi kita? Ataukah hanya sekedar objek pemikul tanggung jawab ekspektasi dan emosi kita?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H