Semakin hari, chatting dengan Ibu Rince semakin membuat tekatku membulat. Beliau banyak bercerita tentang mimpi anak-anak Tanakapu yang ingin belajar banyak hal di luar kampung mereka.
Dari mana mereka tahu, bila mereka tak pernah mendengar kabar? Dari mana mereka mendengar jika mereka tak pernah membaca? Dari mana mereka mampu membaca bila mereka miskin materi bacaan?
Lalu aku mencoba mengumpulkan buku-buku lawas berdebu dari gudang. Lumayan juga banyaknya. Dengan sedikit nyali akhirnya aku mencoba mengganti kegelisahan mereka.Â
Nyali? Ya, aku hanya anak rebahan. Selama ini aku hanya menikmati segala fasilitas dari Mama dan Papa. Aku tak bisa diam saja dan melihat mereka yang rindu belajar, bahkan hanya untuk membaca saja begitu susahnya.
Lihat mereka. Itu tempat terbaik mereka belajar. Segala umur campur aduk jadi satu, mulai dari anak usia TK sampai dengan kelas 5 SD.
Mungkin buku-buku lawasku ada gunanya buat mereka. Tapi, entah ada gunanya atau tidak, kukirimkan saja. Aku tak peduli. Aku membungkus buku-buku bekas tersebut bersama nyali kecilku di dalamnya.
Sebulan berlalu, tetiba ada notif chat dari Bu Rince. Sempat ada haru saat aku membuka gambar yang dikirimkan Bu Rince via  chatting WhatsApp.
Di bawah gambar tersebut, tertulis pesan dari anak-anak Tanakapu, "Terimakasih, Kakak Winsi."
Lihatlah senyum mereka. Bagiku, buku-buku tersebut hanyalah buku bekas yang menumpuk, berdebu, di sudut gudang rumahku. Aku tak mengira nyali kecilku ternyata membawa senyum bahagia bagi mereka.
 Begitulah cerita dari seorang anak rebahan. Bulan Juni tahun ini, ia tergerak untuk menggerakkan jemari medsos, mengajak teman-temannya yang lain untuk menggalang buku bekas.