Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Tanakapu, Senyum Mereka, Senyum Kita Semua

2 Juli 2020   10:10 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:55 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana belajar di ruang belajar Yayasan Tangan Pengharapan Kasih, Tanakapu | dok. Ibu Rensi


Bersama dengan salah satu anak rebahan ini merupakan berkat tersendiri bagi saya. Percaya atau tidak, dia adalah guru kehidupan bagi saya. Guru yang mengajari saya pelajaran hidup tanpa terbatas ruang dan waktu.

Semoga, tulisan saya ini mampu menyapa hati Anda semua.

"Hai, namaku Winsi. Tahun ini aku lulus dari SMA Negri 7 Solo. Umurku 18 tahun. Sejak kecil aku sangat suka membaca. Mulai dari majalah Bobo yang dibelikan Mama, hingga kemudian beranjak dewasa, aku lebih menyukai buku-buku sains. 

Di SMA ini, aku punya seorang sahabat. Kepiawaiannya membawakan mapel Kimia membuatku semakin menyukainya. Bagiku ia menarik, secantik hatinya yang kini tertambat pada senyum anak-anak Tanakapu

Perkenalkan, namanya Ibu Rince. Magdalena Rince. Dulu, beliau guru PPG di SMA ku. Namun kemudian, beliau lebih memilih untuk pulang ke kampung halamannya, di NTT. Lebih tepatnya Tanakapu, Sumba Barat. 

Dan dari sinilah petualanganku dimulai.

Persahabatanku dengan Ibu Rince masih terus berlanjut. Meskipun kami hanya bertukar kabar lewat chatting, namun beliau sering bercerita tentang keseharian beliau mengajar anak-anak Tanakapu.

Aku selalu senang saat ia bercerita tentang kehebohan anak-anak Tanakapu belajar mengenal dunia, selain yang ada di kampung mereka.

Akan tetapi Ibu Rince pun kadang bercerita tentang betapa sulitnya mengajar membaca di sana. Selain karena kendala bahasa ibu yang mereka pergunakan sebagai bahasa pengantar, fasilitas belajar yang teramat minim pun sangat menghambat belajar mereka.

Bukan pemandangan langka bila kita ke Tanakapu, lalu kita akan menjumpai anak kelas 4-6 SD belum mampu membaca. Hmmmh, sungguh, tiba-tiba aku merasa begitu egois.

Sepatuku lebih dari sepasang. Buku-bukuku, begitu banyak menumpuk di gudang. 

Semakin hari, chatting dengan Ibu Rince semakin membuat tekatku membulat. Beliau banyak bercerita tentang mimpi anak-anak Tanakapu yang ingin belajar banyak hal di luar kampung mereka.

Dari mana mereka tahu, bila mereka tak pernah mendengar kabar? Dari mana mereka mendengar jika mereka tak pernah membaca? Dari mana mereka mampu membaca bila mereka miskin materi bacaan?

Lalu aku mencoba mengumpulkan buku-buku lawas berdebu dari gudang. Lumayan juga banyaknya. Dengan sedikit nyali akhirnya aku mencoba mengganti kegelisahan mereka. 

Nyali? Ya, aku hanya anak rebahan. Selama ini aku hanya menikmati segala fasilitas dari Mama dan Papa. Aku tak bisa diam saja dan melihat mereka yang rindu belajar, bahkan hanya untuk membaca saja begitu susahnya.


suasana belajar di ruang belajar Yayasan Tangan Pengharapan, Tanakapu | dok. Ibu Rince
suasana belajar di ruang belajar Yayasan Tangan Pengharapan, Tanakapu | dok. Ibu Rince
Lihat mereka. Itu tempat terbaik mereka belajar. Segala umur campur aduk jadi satu, mulai dari anak usia TK sampai dengan kelas 5 SD.

Mungkin buku-buku lawasku ada gunanya buat mereka. Tapi, entah ada gunanya atau tidak, kukirimkan saja. Aku tak peduli. Aku membungkus buku-buku bekas tersebut bersama nyali kecilku di dalamnya.

Sebulan berlalu, tetiba ada notif chat dari Bu Rince. Sempat ada haru saat aku membuka gambar yang dikirimkan Bu Rince via  chatting WhatsApp.

senyum indah anak Tanakapu bersama Ibu Rince| dok. Ibu Rince via chat Winsi
senyum indah anak Tanakapu bersama Ibu Rince| dok. Ibu Rince via chat Winsi

Di bawah gambar tersebut, tertulis pesan dari anak-anak Tanakapu, "Terimakasih, Kakak Winsi."

Lihatlah senyum mereka. Bagiku, buku-buku tersebut hanyalah buku bekas yang menumpuk, berdebu, di sudut gudang rumahku. Aku tak mengira nyali kecilku ternyata membawa senyum bahagia bagi mereka.

 

kesibukan anak-anak Tanakapu belajar membaca dan menulis | dok. Ibu Rince via Winsi
kesibukan anak-anak Tanakapu belajar membaca dan menulis | dok. Ibu Rince via Winsi
Begitulah cerita dari seorang anak rebahan. Bulan Juni tahun ini, ia tergerak untuk menggerakkan jemari medsos, mengajak teman-temannya yang lain untuk menggalang buku bekas.

Menggalang buku bekas? Yha. Di luar dugaan, aksi penggalangan buku bacaan bekas ini disambut oleh rekan-rekannya. 

Lokasi rumah yang jauh tidak menyurutkan semangat untuk mengambil buku bekas milik kawannya hingga ke kawasan Solo Baru yang berjarak kurang lebih 3 kilometer dari rumahnya. Belum lagi yang ada di daerah Palur, bila diukur jaraknya, ya, sekitar 6 kilometer dari rumahnya.

Sewaktu saya bertanya, apa motivasinya untuk mengumpulkan, kemudian mengirim buku-buku bekas tersebut ke NTT, raut mukanya memerah. Matanya berkaca-kaca. 

Ia hanya berkata, "Miss, Winsi cuma pengen, temen-temen di Tanakapu juga punya wawasan seperti Winsi dan semua temen-temen di sini."

Dari sekelumit cerita Winsi ini saya merasa ada sesuatu yang menarik. Tentang berbagi? Tentu saja. Namun ada hal lain yang tidak kalah menariknya. Bahwa menjadi kaya hanya perlu kata cukup.

Seberapa banyak dari kita yang menumpuki diri dengan hal-hal yang sebenarnya sudah tidak kita butuhkan lagi. Pakaian yang tak pernah kita pakai masih tertumpuk di lemari baju. Buku-buku atau majalah bekas yang sejak kecil masih kita koleksi hingga berdebu di ujung rak buku kita. 

Tengoklah, adakah mainan anak-anak kita yang kini beranjak dewasa masih tersimpan entah di sudut gudang sebelah mana? Atau barang-barang elektronik lecet yang sengaja kita simpan hendak kita perbaiki tapi tak pernah punya waktu luang?

Pernahkah kita berpikir, bahwa kita tidak akan kekurangan bila kita mulai menguranginya, kemudian kita bagikan pada mereka yang membutuhkan. Bila sudah berkurang ya sudah, biarkan saja kosong. Tak perlu kita sibuk mengisinya dengan hal lainnya lagi.

Sadarkah kita, bahwa dengan hidup cukup kita belajar untuk tidak kuatir pada kekurangan?

Winsi mungkin saja berkata, ia belajar berbagi, belajar menghargai, dan bersyukur dari anak-anak Tanakapu. Tapi tanpa sadar ia pun telah mengajari saya bagaimana untuk bersikap sebagai orang kaya, meski dengan kata cukup.

Salam,

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun