Jingga tak pernah mengerti mengapa Bapak selalu mengucapkan titah sakti yang menyakiti hatinya. Bukankah ia putrinya? Satu pertanyaaan yang tak pernah dijawab Bapaknya. Satu tanya yang kemudian membawanya pergi, membuang segala cerita indah di Kretek Bacem.
***
Catatan kaki Rum, roh yang melayang tanpa tahu arah dan tujuan.
Solo, awal Maret 1966 di suatu malam pekat; ketika jangkrik selesai mengerik menidurkan anak-anaknya.
Setiap malam aku mendatangi kretek Mbacem. Dari jembatan ini aku melihat beberapa orang diikat diatas papan seukuran tubuh, beberapa disuruh mengantri di bantaran sungai, lalu roboh setelah beberapa suara bedil menyasar kepala atau dada mereka.
Malam demi malam aku melihat kekejian, kepasrahan, dan darah yang mewarnai sungai Bengawan.Â
Malam ini aku melihat, satu sosok lelaki bertubuh kurus, berdiri mematung. Wajahnya persis seperti gambar yang sering ditunjukkan Jingga padaku. Kata Jingga ia hanya seorang seniman. Pecinta ilmu dan seni. Hanya itu.
Ia lelaki yang gemar menulis cerita. Jingga kadang membacakannya untukku dengan mata yang berbinar. Aku tahu ia sangat mencintai lelaki yang dipanggilnya Bapak.
Malam belum begitu pekat. Lelaki itu berdiri di bantaran sungai bersama beberapa orang lain. Sebentar kemudian terdengar suara tembakan pecah di udara, dan lelaki itu pun roboh; tumbang bersama sanggar tarinya yang ditutup Jingga, beberapa saat setelah sanggar dirusak, dan banyak orang bergunjing "Darminto antek PKI". Malam telah melewati pekat.
Setelah itu, pertengahan Maret di tahun yang sama, aku mengintip, Jenar melingkari tanggal 16 pada kalender dindingnya. Sudah dua hari penuh hujan turun dengan lebat melawat kota penuh aliran darah. Â
Biar saja air banjir ini menggenangi kota, biar saja air ini membasuh, memandikan, membersihkan kota dan air Bengawan yang memerah karena tumpahan darah, lalu menghapus bau anyir yang masih terciumi di sela sekat besi Kretek Bacem.Â