"Kalau mampir ke sanggar, bilang Darminto, kita masih menunggunya kembali di sini. Ndak usah ikut macem-macem; politik itu kejam. Sampaikan itu pada Bapakmu,"
Jingga mengangguk pelan, "Inggih, Pakdhe." Jingga melesat, tubuh mungilnya segera menyeruak masuk ke dalam becak Pak Paiman mendahului Pipit.
"Kita harus cepat, Pit. Ndak tahu kenapa, aku kok pengen ketemu Bapak. Aku punya firasat, kalau ini untuk terakhir kalinya kami bertemu,"bisik Jingga lirih hampir tertelan ludahnya sendiri.
"Kamu ini cah gemblung. Segalanya mesti alesanne firasat, " cubitan kecil Pipit mendarat di pinggang ramping Jingga.
Semenjak kasus Gerakan 30 September di Jakarta yang lalu mencuat di koran-koran nasional menjadi berita hangat, kini kebebasan menjadi barang yang sangat bernilai.
Gerakan bersih-bersih saat itu baru santer digiatkan. Siapa pun bisa saja menjadi hama yang harus dilenyapkan, meski hanya karena fitnah dan hasutan. Siapa pun bisa menjadi penghuni Kali Bacem. Sungai Bengawan Solo, yang bantarannya kerap menjadi kunjungan eksekutor pembersih hama pemerintah.Â
"Ngga, kemarin aku dengar kabar, Pak Lik Menggung berantem sama sekelompok pemuda,"
"Bapak berantem? Ada apa lagi to, Pit?" kegelisahan Jingga menyelusup, menelisik kembali batinnya. Ia tahu persis, Bapaknya tak pernah ikut kegiatan partai mana pun. Beliau hanya menulis. Hanya penulis cerita di kolom koran lokal yang seringkali dibaca Jingga.
"Pak Lik Menggung menolak sanggarnya akan dijadikan markas pergerakan partai yang baru kondang itu lho, Ngga. Lalu Pak Lik mengusir mereka. Itu kata Mas Seta,"
Becak tua purnakan tugas mengantar mereka berdua di sebuah rumah berpagar tembok pendek sekelilingnya. Sedang gerbangnya terbuat dari pintu rumah dari kayu, sama seperti kontur bangunan bagi abdi dalem di Baluwarti.
Akhir-akhir ini, Darminto tak pernah ingin ditemui siapa pun. Ia memilih hidup bersama buku-buku lamanya di sebuah sanggar tari kecil yang dirintisnya di pinggiran Kota Solo.