"Mbak Jingga tunggu di sini biar saya panggilkan Bapak" begitulah Seta selalu menyambut Jingga.
Ruang pendopo tak seberapa luas, namun Jingga selalu senang berada di sini. Sekali ini saja Rum tak mengganggunya. Mungkin ia masih betah dengan pohon flamboyannya.
Alunan klenengan dari pita kaset mengalir lembut bersama suara sinden, sepintas membius memori Jingga. Aroma magis menghiasi setiap gerakan penari bertopeng yang sedang berlatih tari di situ.Â
Angin segar tetap setia menemani siang Jingga yang mampet, tersendat oleh riuh suara dalam benaknya. Pendapa masih mengalunkan suara gamelan. Menyusupi kerinduan Jingga bertemu dengan ayah yang sekian tahun mengasingkan diri dari keluarganya.
"Bapak,"lirih suara Jingga mengorek tenggorokannya, tatkala melihat sosok lelaki kurus berjalan mendekat arahnya.
Lelaki kurus berambut putih bercampur hitam kemerahan muncul dari dalam rumah di belakang pendapa. Wajahnya tenang, keriput di sekitar kantung matanya menandakan kerapatan suara yang dibungkam dalam batinnya selama ini.
Para penari satu per satu beringsut pergi meninggalkan sanggar. Hanya beberapa orang saja yang memang diperbolehkan Darminto tinggal bersamanya.
Lelaki kurus itu tak segera menyahut sapaan putrinya. Bungkus rokok bergambar orang tua gundul diremasnya. Isinya memang hanya tinggal sebatang.Â
"Kamu ini kewanen, Ndhuk. Bapak sudah pesen, jangan sering-sering main ke sini. Malah ngeyel,"
Jingga hanya terdiam. Mungkin angin sejuk di siang hari telah membius lidahnya. Aneh. Benak yang tadinya ramai, kini sepertinya kosong melompong.Â
"Besok Bapak pergi. Kamu ndak usah ke sini lagi," seluruh urat nadi Jingga membenci kalimat yang seringkali diulang Bapaknya. Kalimat dengan nada datar, namun terasa sangat menekan batinnya.