Decit suara becak mengantar Jingga dari stanplat Hardjodaksino ke rumah Budhe Walyati di kampung Baluwarti. Â Senyum Budhe Walyati terlintas, bercampur dengan kepulan asap beraroma gurih kuah tengkleng membaur, menusuk syaraf penciumannya.
Tanpa terasa becak yang ditumpangi dari terminal telah usai mengantar Jingga tiba di depan sebuah rumah berpagar besi hitam.Â
Lambaian pohon flamboyan besar menyambut dengan ramah. Satu bunga merahnya menjatuhi Jingga.
Ia melihat sahabat kecilnya masih duduk di atas pohon besar depan rumah Budhe. "Ah, ternyata kamu di situ, Rum," mata Rum mendelik. Ia mengenali Jingga dengan benar.
Dulu Jingga sajalah yang mengajaknya berbincang. Sejak Jingga memilih kuliah ke Semarang, Rum hanya duduk saja di atas pohon. Toh juga Budhe Wal atau Pakdhe Dodo tak mengerti keberadaannya. Tak ada yang mampu melihatnyaÂ
Apalagi Jenar. Anak ingusan itu tiap hari kerjanya hanya menyapu halaman, menyirami taman kecil Budhe, lalu kembali ke kamar, sibuk dengan bukunya, dan sesekali mengajak bicara kecoa yang merayapi dinding kamarnya.
"Hai, Rum," sapa Jingga setengah berbisik. Takutnya nanti Budhe akan memanggil lagi Pak Kyai dari kampung sebelah untuk mengusir Rum pergi.Â
Sama seperti dulu. Rumah Budhe mendadak ramai, seperti kondangan kawinan Lik Supar yang entah ke berapa kalinya.Â
Lik Supar, tetangga depan rumah, mengira Jingga terkena sawan, lalu datanglah Pak Kyai berusaha mengusir Rum, minggat dari rumahnya. Di lain hari Jingga juga pernah disembur-sembur dukun yang diundang Pakdhe atas provokasi Lik Supar. Sangat menyebalkan.
Mungkin dukun itu bahagia telah kesekian kalinya meludahi, bahkan membabtis korban tak berdaya seperti Jingga dengan semburan yang dipikirnya dahsyat.
"Ndhuk, Jenaaaar, ayo keluar...lihat, Mbakyu-mu sudah pulang ini lho," begitulah sambutan Budhe Wal, tergopoh-gopoh dari dapur segera membukakan pintu.