Chicago, 1870 pagi yang indah. Sinar kemilaunya menyelinap di sela dedaunan yang menggoyang musim semi.Â
Riuh terdengar suara anak-anak kecil yang belum juga menginjak remaja memenuhi sebuah rumah seorang pengacara ternama, Horatio Spafford.
Lelaki matang usia, 43 tahun pagi ini bergumul dengan koran pagi yang memuat salah satu kasus hukum yang telah dimenangkannya kemarin. Secangkir kopi hangat beserta sepiring kecil pie hangat berlumur madu menghiasi meja kecilnya.
Sementara ia sibuk dengan kabar media, telinganya menangkap suara pelan anak lelaki semata wayangnya yang kini sedang duduk dikelilingi gadis-gadis kecil Spafford bersiap menikmati sarapan pagi beserta sayur sederhana buatan ibunda mereka.
"Tuhan, terimakasih untuk semua yang Kau beri bagi kami. Bahkan atas sayuran yang rasanya tak enak ini pun kami mengucap syukur. Dalam namaMu yang kudus, kami berdoa. Amin," segera jeweran lembut Anna, ibundanya melayang di telinga lelaki mungil itu.
"Sayuran yang tak enak rasanya?" protes Anna.
"Aku tak mungkin bohong pada Tuhan kan, Bu," Anna hanya tersenyum mendengar jawaban polos anaknya.
Keluarga Spafford sangat dikagumi oleh hampir seluruh masyarakat Chicago. Horatio Spafford sedang berada di puncak kesuksesannya. Bisnis yang sukses, karir yang kian hari kian menanjak, keluarga yang hangat, sungguh kehidupan mapan impian semua pria. Begitu sempurna.
Sepasti senyum hangat untuk istrinya yang bersiap dengan mantel panjang serta topi top hitam melengkapi jas ditto simbol kesuksesan bisnisman tahun itu.
Namun pagi indah segera berlalu. Malam itu anak lelaki kebanggaanya harus terbaring di atas tempat tidur, berjuang dengan wabah ganas yang menjangkiti masyarakat dunia belahan utara.
Scarlet Fever. Begitulah para ahli medis menamai penyakit yang kini menghantui pikirannya. Tubuh anak kecil itu menggigil, namun panas badannya makin meninggi. Obat dari dokter tak jua mampu meredam demam anak mungil Spafford.Â
Anna pun tak beranjak dari samping tempat tidur anaknya. Wajahnya lusuh. Diambilnya kaon untuk mengompres dahi anak lelakinya. Hingga tiba saat mata anak itu menutup, kelopaknya mengatup, dan tidak pernah terbuka kembali. Hari itu, Horatio dan Anna harus melepas pergi anak mungil itu kembali kepada Tuhan yang lebih menyayanginya.
Kenangan terdalam Spafford menggumam bebas di ulu hatinya yang kini terasa begitu nyeri. Senyum anak lelaki semata wayangnya segera sirna direnggut demam yang membawa anak kebanggaannya pergi kembali menemui Sang Khalik.
Satu tahun berselang. Seiring tangis yang masih mengusik, luka duka masih meresap dalam kesenyapan ingatan Horatio maupun Anna.Â
8 Oktober 1871, kebakaran hebat menghanguskan hampir sebagian besar perumahan penduduk kota di negara bagian Ilinois.Â
Api memanggang habis Chicago tiga hari lamanya. Dalam tiga hari api menggila, merenggut beribu rumah penduduk dan terus bertambah ganas menebar kobarnya hingga sejauh 9 km. Mengambil paksa hampir 300 tubuh manusia, meregang nyawa terbakar hangus, tandas, dan habis.
Semua surat kabar kota, bahkan di seluruh dunia memuat berita yang sama. Memberi tajuk atas peristiwa dahsyatnya kebakaran tersebut dengan nama, "The Great Chicago Fire".
Tangis Anna meledak begitu saja. Jemarinya memukul halus dada bidang Horatio. Bayangan anak lelakinya masih merajai lembah kelamnya. Kini, mimpinya pun hangus terbakar meninggalkan asap dan abu di kedalaman batinnya.
Seluruh harta yang diinvestasikan Horatio di salah satu perumahan elit pun ikut ludes terbakar. Semuanya telah habis tertelan amuk gelora api, menyisakan bangkai kerangka bebatuan hitam menggunung sebagai deviden atas investasi Spafford.
Raga Horatio terus berusaha tegar, berdiri, memegang erat tubuh Anna yang lunglai dalam rengkuhan lengannya.
Dipeluknya Anna dalam dekapan hangat. Tangis wanita bermuka bulat itu menghiasi dasi ascod biru Horatio. Meski ia tahu sikap tenangnya tak mampu memadamkan kepedihan di mata bulat wanita pujaannya.
"Apa yang terjadi pada kita, sayang? Apa salah kita? Mengapa Tuhan mengambil segalanya? Bukankah kita pun melayaniNya setiap waktu? Apa yang telah kita lakukan?" Horatio tak berujar apa pun. Tak ada satu pledoi pun yang mampu ia ucapkan selain belai lembut jemarinya menghapus air mata yang masih berderai di pipi lembut Anna.
***
Tahun telah berganti, musim telah bergulir tanpa henti. Bulan mencium bulan, minggu mencumbu minggu, demikan pula hari selalu berserah dilucuti waktu.
Kekelaman masih menjangkiti benak Anna. Kehilangan apa yang menjadi mimpi dan harapannya telah hilang. Namun Anna tidak juga menyerah. Semangat Horatio membenahi seluruh kenangan pahit yang kini ia tindih dengan senyum dan rasa ikhlasnya.
Secarik surat dari D.L Moody yang sibuk dengan rencana pelayanan kepada jemaat gereja di Inggris Raya membuat semangat Horatio kembali menyala.Â
"Anna, lihat, aku membeli tiket kapal. Kita akan pergi ke Inggris. Mari sayangku, Kita lupakan dulu semua. Kita bantu Tuan Moody melayani umat di Inggris. Kau mau?" senyum mengembang di wajah bulat Anna mendengar suaminya dengan mata berbinar menunjukkan tiket kapal untuk seluruh keluarga.
Hari itu, Sabtu, 15 November 1873 udara dingin  menciumi New York. Kapal-kapal berjajar rapi, merapat di pelabuhan. Hawa dingin membasuh air laut yang bergelora. Pagi itu keluarga Stafford berada di salah satu sudut kapal, bersiap mengarungi samudera ke daratan Perancis, kemudian melanjutkan pelayarannya ke Inggis membantu pelayanan Moody di benua Eropa.
Horatio terlihat sibuk pagi itu, matanya menatap sayang Annie, Maggie, dan Bessie, tiga putri cantiknya. Sedang Anna sibuk mendiamkan Tanetta, si kecil Spafford yang menginjak usia 2 tahun.
"Anna sayangku, aku minta maaf, ada klien yang mendadak menghubungiku. Kau berangkatlah lebih dahulu bersama anak-anak."
"Tapi, Horatio,...."
"Tenang, aku menyusulmu nanti setelah urusanku di Chicago selesai."sahut Horatio. "Nikmati liburanmu, sayang. Aku sudah mengirim telegram untuk Tuan Moody. Dia yang akan mengurus segala keperluanmu sebelum aku tiba di sana," apa mau dikata, kata iya mengalir dari bibir Anna. Ia bukan seorang wanita yang manja. Semenjak menikah dengan Horatio, ia yang seringkali mendukung segala keputusan suaminya.
Bibirnya menggumamkan kata sayang untuk Horatio yang memeluknya erat. Kecup hangat Horatio pun termeterai di kening Anna.Â
Berpenumpang tiga ratusan orang SS Ville du Havre bergerak meninggalkan pelabuhan New York. Cerobong hitam mengumandangkan kegagahannya siap menghadapi samudera Atlantik raya, siap berlayar ke Perancis.
***
Tak terasa 9 hari telah lewat. Sebuah telegram dari Cardiff menghampiri meja kerja Horatio pagi itu. Telegram dari istri yang dinantinya membawa kabar. Pesan singkat dalam telegram itu membuat Horatio tercekat. Ia berlari, mempercepat langkahnya, serasa ingin segera terbang ke pelabuhan New York.
Telegram yang kini ada dalam genggaman tangannya menuliskan pesan singkat Anna, "Saved alone. What shall I do?"Â
Pesan singkat merangkaikan peristiwa perih. Tentang badai yang menghantam Ville du Havre yang ditumpangi Anna dan keempat putri cantiknya menabrak kapal nelayan berbendera Inggris, Loch Earn membalikkan Ville du Havre hanya dalam hitungan menit.Â
Lambaian tangan-tangan kecil keempat anak kesanyangannya membekas erat di mata Horatio. Tak pernah ia mengira bahwa Atlantik pada pagi janari 22 November 1873 akan menyeret nyawa keempat anaknya ke palung terdalam, hanya menyisakan istrinya bersama 86 penumpang beserta awak kapal yang kini selamat di daratan Cardiff, Wales.
 Kala pikiran membawanya jauh ke masa silam, membongkar semua kenangan dalam memorinya. Apa yang ada dalam batinnya saat ini? Begitu banyak kejadian mengguncang hidupnya.Â
Di atas kapal yang membawanya menggapai Anna di Wales mengurai sesaat kepedihannya. Air mata hangat yang disembunyikan dari istrinya selama ini, kini mengalir pelan, membasahi pipi lelaki bertulang pipi tegas.Â
Kembali dikeluarkan telegram dari Anna yang ia terima hari ini dengan pesan singkat di atasnya. "Saved alone". Pesan singkat yang begitu mencabik hatinya. Pesan singkat yang membuat sesak dada yang lapang, menghalau segala kasus pelik di hidupnya. Pesan singkat yang mengguncang pundak sang Pengacara kondang.
Ya, apa pun ini. Yang penting ia harus menemukan Anna yang saat ini terguncang hebat. Sendirian menghadapi kehilangan semua anak-anaknya. Hanya itu yang terbersit dalam pikirannya. Tak mampu ia memikirkan hal lain.Â
"Tuan Spafford," panggil sang kapten kapal. Ditariknya Horatio ke sisinya. "Tuan, saya kira Anda harus tahu bahwa tepat di titik inilah  Ville du Havre terbalik." Horatio terdiam. Angin dingin meniup wajahnya pelan. Air laut melantunkan ombak dengan tempo konstan.Â
Terbayang keempat putri kecilnya hanyut, mencoba berjuang dalam kacaunya malam. Menjerit lemah. Sementara dua lengan istrinya tak mampu menyelamatkan mereka berempat.Â
Jeritan kecil yang tak seimbang dengan keperkasaan gelombang samudera raya. Hingga tangan-tangan mungil dan suara nyaring mereka di meja makan ditelan bulat oleh auman laut yang perkasa.Â
Hadir kembali dalam ingatannya, segala kesuksesan yang dicapai diikuti rentetan kejadian perih yang tak henti menyapa kehidupannya.
'Tuhan, mungkinkah aku mengingkari kebaikanMu? Mungkinkah Engkau yang adalah kasih mendustai kasihMu padaku? Apakah dalam segala sempurna rencana baikMu untukku terselip kejahatan di dalamnya?'
'Tidak!! Sungguh, ya, Tuhan. Tak pernah Kau mengingkari diriMu sendiri. Tak akan Kau ingkari kasihMu padaku. Kau tetaplah Tuhanku yang baik,' jerit Horatio dalam benaknya.
Angin laut masih membelai wajah Horatio. Ia terduduk, diam dengan segala kepasrahan batin. Dari saku rompi diambilnya secarik kertas dan pena. Dalam dentum nyeri pilu, ia mengingat segalanya. Lalu ditulisnya sebuah syair,
When peace like a river attendeth my way, When sorrow like sea billows roll,Â
Whatever my lot Thou hast thought me to say, It is well, it is well with my soul...
(Di saat kedamaian mengalir bagai sungai dalam hidupku, di kala duka menggulung seperti laut yang bergelora,
Apapun keadaanku, Engkau Tuhan yang mengajarku untuk mampu berkata,
Tenang, tenanglah jiwaku)
Guncangan hebat melanda Ny. Spafford. Ia tak mengerti harus merasa apa lagi selain luka yang begitu dalam. Lidahnya kelu menelan rasa putus asa yang menggoresi kanvas hatinya. Beberapa luka menggurat tubuh wanitanya.Â
Dilihatnya nanar Horatio yang kini menggenggam jemari tangan bekunya. Perlahan dari bibir tegar seorang wanita, Anna berkata lirih,"Tuhan memberiku empat anak perempuan. Sekarang mereka diambil dariku. Suatu hari nanti aku akan mengerti mengapa."
Horatio memeluk kembali tubuh istrinya dalam dekapan terdalamnya. "Kita tidak kehilangan anak-anak kita. Kita hanya berpisah dengan mereka untuk sementara."
***
*Solo....Tuhan hadir bukan hanya di balik bilik kegembiraan kita, namun Ia juga bertahta di atas riuhnya badai dalam hidup kita.
**Terinspirasi dari sejarah penulisan lagu hymne klasik karya Horatio Spafford bersama D.L Moddy, It Is Well With My Soul.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H