"Tuan Spafford," panggil sang kapten kapal. Ditariknya Horatio ke sisinya. "Tuan, saya kira Anda harus tahu bahwa tepat di titik inilah  Ville du Havre terbalik." Horatio terdiam. Angin dingin meniup wajahnya pelan. Air laut melantunkan ombak dengan tempo konstan.Â
Terbayang keempat putri kecilnya hanyut, mencoba berjuang dalam kacaunya malam. Menjerit lemah. Sementara dua lengan istrinya tak mampu menyelamatkan mereka berempat.Â
Jeritan kecil yang tak seimbang dengan keperkasaan gelombang samudera raya. Hingga tangan-tangan mungil dan suara nyaring mereka di meja makan ditelan bulat oleh auman laut yang perkasa.Â
Hadir kembali dalam ingatannya, segala kesuksesan yang dicapai diikuti rentetan kejadian perih yang tak henti menyapa kehidupannya.
'Tuhan, mungkinkah aku mengingkari kebaikanMu? Mungkinkah Engkau yang adalah kasih mendustai kasihMu padaku? Apakah dalam segala sempurna rencana baikMu untukku terselip kejahatan di dalamnya?'
'Tidak!! Sungguh, ya, Tuhan. Tak pernah Kau mengingkari diriMu sendiri. Tak akan Kau ingkari kasihMu padaku. Kau tetaplah Tuhanku yang baik,' jerit Horatio dalam benaknya.
Angin laut masih membelai wajah Horatio. Ia terduduk, diam dengan segala kepasrahan batin. Dari saku rompi diambilnya secarik kertas dan pena. Dalam dentum nyeri pilu, ia mengingat segalanya. Lalu ditulisnya sebuah syair,
When peace like a river attendeth my way, When sorrow like sea billows roll,Â
Whatever my lot Thou hast thought me to say, It is well, it is well with my soul...
(Di saat kedamaian mengalir bagai sungai dalam hidupku, di kala duka menggulung seperti laut yang bergelora,
Apapun keadaanku, Engkau Tuhan yang mengajarku untuk mampu berkata,