Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang, karena itu keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan kebiasaan.
Begitulah quote Aristoteles yang sempat menghiasi chat room saya. Kata-kata filsuf satu ini membuat saya teringat tentang kebiasaan dan manusia. So relate.
Manusia memang tak bisa lepas dari kebiasaan. Kebiasaan minum kopi tiap pagi, menulis di malam hari, berolah raga, membaca sambil mendengarkan musik, mengerjakan esaai sambil ngemil.Â
Atau kebiasaan yang dinilai buruk, seperti membuang sampah sembarangan, merokok saat stres, makan dalam kapasitas banyak untuk menghilangkan depresi, dan masih banyak kebiasaan lain yang secara rutin kita lakukan.
Dalam bukunya "The Power of Habbit", Charles Duhigg menggambarkan 3 unsur penting tentang bagaimana sebuah kebiasaan itu terbentuk atau dibangun.Terbangunnya sebuah kebiasaan seseorang, baik maupun buruk, selalu diawali dengan sebuah trigger/cue (pemicu) yang memicu seseorang melakukan sesuatu hal secara rutin.Â
Bila kita terbiasa bangun pagi lalu ber-jogging ria, maka bila setelah bangun, lalu melihat sepatu lari pasti akan segera bergegas memakainya, lalu melesat berlari pagi.
Begitu pula bila kita rajin meminum secangkir kopi sebelum memulai aktivitas, maka akan terasa kurang bila belum meminum kopi di pagi hari. Mengapa?
Karena menurut Charles Duhigg, aktivitas rutin tersebut memberikan reward kepada kita dalam bentuk kenikmatan atau kenyamanan.Â
Tumbuhnya sensasi nikmat atau nyaman inilah yang kembali hadir tatkala sebuah trigger yang berwujud benda, atau situasi tertentu, atau bisa jadi simultan lain yang menjadi pemicu aktivitas rutin itu muncul. Tiga tahap ini menjadi sebuah siklus, yang kemudian membentuk kebiasaan.
Permasalahannya adalah, bagaimana bila kebiasaan yang terbentuk adalah kebiasaan buruk? Atau bisa jadi timbul pertanyaan, mengapa sepertinya susah untuk mengendalikan atau menghilangkan kebiasaan buruk?
Bagaimana bila seorang yang gemar menulis sambil ngemil di malam hari, Setelah berbulan-bulan ga ngemil di waktu malam, tetiba saat ia menulis, melihat kue kering Lebaran kemarin masih tersisa di kaleng akan menjadi siksaan (xixixi, ini sih saya...)
Atau seorang pemabuk yang telah dua bulan tidak menyentuh dunia miras, lalu tetiba melihat sebotol miras....what would he do?
Berangkat dari usaha yang berat untuk meninggalkan bad habbit, entah mengapa saya jadi teringat satu metode yang digunakan oleh Jepang untuk bangkit dari keterpurukan pasca kekalahannya pada Perang Dunia II. Yups tepat sekali. Seni KAIZEN.
Apa zih Kaizen? Apa hubungannya dengan kebiasaan?
Kaizen, filosofi yang mendasarkan segalanya pada perbaikan berkesinambungan. Membaca kata berkesinambungan, saya ingat ada salah seorang kawan pernah berkomentar,"Mbak, bukankah pengulangan akan membutuhkan waktu yang lama? Itu kan proses, lama dong?"
Kay, mari saya ajak Anda sebentar memahami. Kaizen memang sebuah usaha perbaikan, perbaikan, dan perbaikan, secara rutin. Namun ada yang menarik dari seni kaizen, yang mungkin dapat digunakan dalam segala kesulitan untuk membangun kebiasaan baik.
Semua berawal dari small step. Dari hal-hal kecil yang sangat sederhana. Ya, kaizen berawal dari hal kecil dan sangat sederhana.
Kita mungkin pernah membuat sebuah target dalam sebuah resolusi, namun sering kali kita terhambat oleh berbagai macam hal, sehingga pada akhirnya target tersebut tak dapat kita capai.Â
Sebagai contoh, mari kita buat sebuah resolusi. Bahwa "saya akan lebih gemar membaca untuk memperkaya diksi dan wawasan saya."
Mungkin di awal mula kita akan rajin mengerjakannya. Namun oleh karena satu dan lain hal, entah kebosanan atau kesibukan, atau rasa malas, lalu habbit membaca yang coba kita lakukan lama kelamaan akan pupus. Am I right or right?
Well, okay, bolehlah kita membuat to do list. Bedanya, mari kita buat list yang lebih ramah pada amygdala, salah satu bagian dalam otak kita yang bertugas memberikan alarm bila ada hal yang "mengganggu" kita. Banyak para ahli berpendapat, biasanya seseorang akan meresponi kondisi tersebut dengan flight, fight, or freeze.
Tapi saya lebih tertarik untuk berdamai dengan amygdala. Jadi, mari coba kita ubah target kita seperti, "Saya akan membaca satu kalimat saja dalam satu hari. Hanya satu kalimat saja, satu hari."
Atau "saya hanya akan menulis satu kalimat saja dalam satu hari" atau, "saya akan berhenti menyentuh gadget selama 5 menit dalam sehari", atau "Saya akan bangun pagi dan mencoba memakai sepatu lari saya, setelah itu melepasnya lagi." (how bout it?)
Too simple? Ya...semudah itu. Memang itulah yang dimaksud small step dalam Kaizen.
Masa' melakukan hal yang sesimpel itu aja ga bisa?
Bingo !!! Tujuan small step ini adalah untuk menanamkan asumsi agar seseorang lebih nyaman melakukan kebiasaan baik. Tentu saja diharapkan seseorang yang rutin melakukan langkah pertama, tidak akan berhenti pada step awal tersebut.Â
Dengan membangun kebiasaan baik dari hal-hal yang sangat sederhana, asal dilakukan secara rutin, hopefully kita dapat membangun habbit yang baik dengan lebih nyaman, bukan?
Bila level "terbiasa" telah terbentuk, maka bukanlah hal yang sulit untuk melakukan hal-hal baik berdasarkan sebuah kebiasaan, bukan karena keterapaksaan. Bila sebuah kebiasaan telah tertanam dengan baik, maka rutinitas lama pun bisa diganti. It will be easier to replace the bad one.Â
Selamat mencoba hidup berdampingan, berdamai dengan "menumbuhkan kebiasaan baik", selamat menempuh proses memiliki kebiasaan baik bersama KAIZEN.
Salam,
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H