Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Keindahan dalam Keburukan

17 April 2020   14:59 Diperbarui: 17 April 2020   19:26 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat datang di laman saya kembali, temanku...

Lama rasanya saya tak mengunggah tulisan yah? Ya, terkadang jeda itu diperlukan agar kita mampu meresponi stimulan yang datang dengan bijaksana. 

Layaknya saat kita menghirup napas kemudian menghembuskannya. Sebenarnya jika kita mencoba memahami dalam sebuah alur siklus nafas, selalu ada jeda di antara inhale dan exhale. 

Okay, tetapi maaf, hari ini kita tidak sedang belajar tentang mindfulness. Hari ini kita bicarakan tentang loss and grive, yha... Tentang sebuah rasa kehilangan.

Jika kita amati dalam masa pandemik ini ada begitu banyak hal yang terjadi. Begitu banyak keluhan yang mengiringi merebaknya wabah corona di jagat negeri pertiwi. Termasuk wabah kehilangan. Bolehkah saya menyebutnya wabah?

Salah satu contohnya, ya...beberapa hari terakhir kita bangsa Indonesia kehilangan satu musikus handal kebanggaan Indonesia, Glenn Fredly (big fans of you, mamen).

Kemudian, mungkin ada di antara kita pun harus merasakan duka yang mendalam karena berpisah dengan orang yang kita kasihi, anggota keluarga kita, atau mungkin kehilangan pekerjaan kita, kehilangan relasi kita, atau kehilangan momen-momen saat dulu kita pernah berelasi, atau kehilangan sahabat, pacar, tunangan, atau yang lain ...

Memahami bahwa sebenarnya akar dari kehilangan adalah sebuah rasa memiliki, maka berdasar atas asumsi tersebut, mari kita menelisik kembali sebenarnya ada apa dibalik rasa kehilangan ini. Ada kaitannya dengan ego, mbak? Iya, tentu saja.

Beberapa hari belakangan ini ada begitu banyak kawan dan kerabat kita di luar sana yang harus kehilangan pekerjaannya. Begitu pula bagi para pedagang kecil, di berbagai sektor yang terdampak kelesuan ekonomi. Pun ini bukan hal yang mudah untuk kita lalui bersama.

Baik, agar lebih jelas akan saya berikan sebuah contoh. Suatu ketika kita pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Lalu tetiba kita sadar ponsel kita hilang, entah tertinggal di mana. Nah, rasa kehilangan ini timbul disebabkan adanya rasa memiliki pada benda yang berupa ponsel tersebut.

Di mana hartamu berada di situ pula hatimu berada. Salah satu pernyataan indah ini muncul dalam benak saya saat menemukan kenyataan bahwa harta dalam hal ini bukan hanya dalam bentukan materi. Harta dapat berupa relasi, pekerjaan, hobi, seseorang yang di hati, dan masih banyak hal yang lain.

Hal ini berlaku pula untuk seseorang yang dekat di hati atau dalam sebuah relasi yang kita bangun dengan sesama. Are you with me now?

Semenjak kecil tanpa sadar kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa semua rasa negatif seperti marah, kecewa, sedih, bahkan kehilangan, adalah emosi negatif yang sedapat mungkin kita hindari. Bahkan sekeras mungkin kita berusaha untuk menolak emosi negatif tersebut. Am I right?

Kay, sekarang, ironisnya kehilangan merupakan perasaan yang menjadi stresor kuat untuk melemahkan mental seseorang. 

Mengapa demikian? Kembali lagi pada akarnya, ini berkaitan dengan kepemilikan. Kita menganggap bahwa semua yang datang dan semua hal yang kita dapatkan dalam hidup kita adalah sesuatu yang bisa menjadi bagian dalam hidup kita. 

Seakan tanpa sadar bahwa segala yang ada di muka bumi ini mempunyai sifat yang berubah. Segalanya. Dalam ilmu fisika, kita tahu bahwa benda mati, seperti meja, kursi, lantai, atau apa pun itu semua memiliki partikel yang berubah.

Seperti saat kita menyelupkan jemari kita pada sebuah sungai yang mengalir, maka kita akan mendapati jemari kita menyentuh air yang berbeda. Demikian pula dalam kehidupan ini.

Setiap hal di dunia ini berubah. Begitupun setiap partikel di dunia ini, segalanya berubah. 

Mari saya ajak teman-teman mengulik dari sisi bahasa. Bagi yang ahli bahasa tolong koreksi jika nanti saya kedapatan salah, dalam hal ini. 

Dalam grammar bahasa Inggris Kita belajar membedakan penggunaan tenses. Ada past tense untuk kalimat masa lalu, ada present tense untuk kalimat masa kini, lalu ada future tense untuk kalimat masa datang. Semua pattern atau struktur kalimat berbeda dalam tiap penggunaannya.

Sadari bahwa segalanya berubah, maka tidak ada ke-akuan lagi. Aku yang sekarang akan menjadi aku di masa lalu. Maka dasar dari kepemilikan terhadap sesuatu akan hilang, karena tak ada aku. 

Bila kita mampu menghilangkan "aku", maka hilang pula rasa memiliki, dan mengatasi kehilangan bukan hal yang sukar. Yha, akan tetapi pada kenyataannya ini merupakan hal yang sangat sukar untuk dilakukan.

Yang biasanya telfon atau chat, sekarang tak terlihat ada notifnya. Yang biasanya memasak di dapur, sekarang tak lagi di ruang yang sama. Nah, hal-hal seperti inilah yang seringkali membuat kita merasa sepi. Apakah ini natural? Tentu saja, ini alamiah. 

Kehilangan bukan hal yang bisa kita hindari ataupun kita tolak.

Kehilangan datang sebagai sebuah kondisi yang tak pasti dalam hidup kita. Hanya bagaimana kita mengelola rasa ini, bagaimana kita menyikapinya? Jikalau saya boleh menyarankan, ya, diterima saja. 

Terima segala rasa, termasuk kehilangan ini. Terima dan cobalah untuk share semua rasa tak nyaman itu dengan para ahli professional yang bergerak dalam bidang pemulihan mental atau bisa juga berbagi dengan orang-orang terdekat yang bisa kita percayai.

Lalu apakah kita hanya menerima semua rasa duka tersebut dan meratapi keadaan? Kay... hal terpenting adalah mulai membangun rasa self love. Bukan mengasihani diri sendiri, melainkan mengasihi diri kita. Jangan mencoba untuk menyalahkan diri sendiri, atau bahkan menimpakan rasa kesal atau emosi labil ini pada orang lain. 

Ada fase toleransi pada masa berduka dalam menjalani situasi yang tidak nyaman ini. Pertama mungkin denial (penolakan). Sebagai contoh, setelah kita putus cinta, ada marah, benci, kemudian timbul pikiran-pikiran yang pada dasarnya tidak seperti yang sesungguhnya terjadi, hati-hati ini akan menimbulkan overthinking yang pula memperburuk diri Kita sendiri.

Setelah lewat beberapa saat, biasanya akan timbul rasa sedih, putus asa, kecewa, yang lama kelamaan dengan berjalannya waktu akan timbul kesadaran untuk menerima semua rasa kehilangan ini.

Well...seperti itulah sedikit gambaran mengenai kehilangan. Untuk menutup artikel ini, saya akan mengutip salah satu saran yang disampaikan oleh seorang dokter ahli jiwa, dr. Jiemi Ardian.. 

Bila kita merasa kehilangan, cara paling mudah adalah berhenti bertanya tentang "why".

Mengapa harus begini, mengapa harus terjadi pada saya, dan mengapa yang lain. Hal ini mungkin bisa kita lakukan setelah kita benar-benar bisa menerima kehilangan. Karena bertanya tentang hikmah dari peristiwa ini akan lebih baik kita lakukan nanti...pada fase yang jauh setelah menerima.

Yang bisa kita lakukan pertama kali, adalah bertanya pada diri kita dengan kata "how". Cobalah untuk berpikir bagaimana saya tetap produktif setelah kehilangan ini, bagaimana saya bisa merawat diri saya sendiri, bagaimana saya mendukung keluarga saya, dan masih banyak pertanyaan how yang bisa kita timbulkan dalam diri kita sebagai pemicu untuk tetap survive atau bahkan bangkit dari rasa yang tak nyaman ini.

Well,... Jangan berhenti berharap, tetap bersemangat, tetaplah kreatif dan produktif. Saya yakin pandemi ini akan berakhir, dan kita akan pulih kembali.

Salam hening,

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun