Sedang Ragil masih enggan menjawab maksud Hermawan. Bukan karena ia tak cinta, hanya sikap Hermawan yang entah mengapa membuatnya selalu minder dan merasa harus selalu bergantung pada kekasihnya itu.
Teringat ia akan perbincangannya dengan Mbok Ruminah di belakang rumah kemarin malam, usai makan malam yang dihabiskannya sendirian.
"Yang simbok tahu cuman masak sayur buat Den Roro sama Ndoro Kakung," jawab Mbok Nah pelan.
"Mbok, Ibu sudah meninggal. Sedang Rama sudah sepuh, Mbok. Sementara utang keluarga menumpuk. Kalau aku menikah sama mas Hermawan trus siapa yang ngurusin kios di Klewer, Mbok? Siapa yang mau mbayar semua utang kita, Mbok?Â
"Coba Mbok, nanti Pak Dhe Darman, Pak Dhe Janto, sama buruh yang lain, siapa yang mau kasih kerjaan? Semua sedang sepi sekarang, Mbok,"
"Lha Simbok ini harus gimana, Den Roro?"
"Aku ndak mau nikah sama mas Her,"
Mbok Nah pun hanya tertunduk. Ia sadar, ia hanyalah seorang batur, pembantu yang merasa terhormat sudah bisa mengabdi pada keluarga kraton meski hanya berpangkat Kanjeng Raden Tumenggung Haryo. Gelar bagi abdi dalem Kanjeng Gusti Pangeran.
Mbok Nah tak pernah mau banyak berkomentar. Ia tak mau jadi tombak cucukan, meleter ke sana sini menebar berita dari dalem kanjengan.
"Lha kok ndak mau itu gimana to, Den Roro?"
"Nikah itu bakal punya anak, Mbok, aku pasti bakal ndak punya waktu ngurusi kiosnya Rama,"