"Kalau kau mau, Rama masih punya stok kenalan banyak. Teman-teman Ramamu ini punya anak lelaki yang top. Itu kalau kau mau, gimana, Gil?"
Ragil masih tak menjawab. Ia seperti awan yang kehilangan angkasa.Â
"Cinta itu tidak buta, Gil. Cinta itu hidup dan menghidupi. Apa bersama Hermawan selama ini kau merasa hidup? Atau kau lebih merasa hidup dengan kios dan buruh-buruh kita?
"Jangan terlalu percaya diri sama pikiranmu sendiri, punyailah kemampuan untuk wani dewe, jangan merasa hidup harus sama Hermawan saja, kau bisa berdiri sendiri, Gil. Bukan bergantung pada Hermawan saja, trus susah....apa itu namanya...anak muda sekarang itu...kau ini jadi susah..."
"Move on, Rama," jawab Ragil pelan dalam senyumnya yang dipaksa. Setetes air mata segera ia usap kala mengalir di pipinya.
"Lha yha itu tadi. Wes, kalau mau nangis, sedih, yo nangiso, ndak pa pa. Tapi trus ajak dirimu kembali lagi, sadar kau ada di sini, bukan di saat tadi. Sudah, yo Gil," Pak Menggung membelai rambut putri bungsunya. Tangis Ragil semakin pecah.
Sesaat ia berhenti, Dan memandangi kain lurik yang berserakan di lantai pendipo."Besok biar Ragil dianter sama Pak Dhe Janto saja, Rama. Ragil mau mulai lagi ke langganan kita yang dulu," entah mengapa, kain-kain lurik itu mulai memicu benak Ragil kembali.
"Pergilah, Rama memberimu pangestu, cah ayu. Jemput mimpimu, Rama mendukungmu," Ragil masih gundah, mencoba berteman dengan satu rasa ikhlas.
Ia harus berdiri meski sendiri, walau ia tahu ketidakpastian itu ada di depan mata, namun Ragil percaya, ada mimpi yang ingin diraihnya.Â
Untuk  meneruskan hidup para buruh luriknya, untuk Mbok Nah yang gaji tiap bulan ditunggu keluarganya di rumah, untuk Pak Dhe Janto, dan Darman, serta cinta tulus Ramanya, juga mimpi yang selalu menyelubungi tidur malamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H