Tetiba ia berlalu, dan berpaling, meninggalkan pedagang kaki lima dan kaos berlabel Jogja. Dengan langkah cepat, ia mencoba menerobos benteng manusia-manusia yang berlalu-lalang di pasar Malioboro.Â
Langkah cepat gadis berambut hitam legam itu diikuti oleh seorang lelaki yang sangat kukenal. Lelaki yang dua tahun ini menghantui hidup gadis seusiaku. Lelaki yang kukenal telah membawa mimpi wanita malang berambut hitam itu terbang tinggi lalu meninggalkannya.
Kuikuti mereka berdua. Entah apa isi kepalaku. Yang ku tahu, Tere, wanita berambut hitam legam itu adalah wanitaku. Dia yang selama ini menjelajahi mimpi dan anganku.Â
***
Tere, aku bertemu dengannya dua tahun lalu. Pandangan mata kosong tanpa harapan, menggelayut di atas semua malam yang diajukan padanya. Rambut ikalnya tak teratur ditiup angin.
Setiap siang, ia duduk di bawah pohon samanea saman, yang kulewati tiap kali aku pulang dari pasar. Wajahnya dulu tak seayu sekarang. Dua tahun yang lalu ia layaknya mayat hidup, yang setiap hari memaksakan senyum setiap kali aku mendekatinya.
"Hai," sapaku singkat. Bahkan aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Aku hanya menyukai senyumnya.
Dan ya, siang itu ia tersenyum lebih lebar dari biasanya. Kusandarkan motor matic-ku di samping pohon besar itu.
"Apa kabarmu? Apa aku boleh tahu namamu?" sebuah gelengan halus kuterima siang itu.
Ia menundukkan kepala. Rambut hitamnya tergerai menutupi wajah pucat tanpa darah. Lama kami terdiam di bawah pohon besar di tepi jalan protokol kota kecilku. Mata indah itu digenangi air yang tulus mengalir dan jatuh di atas pangkuannya.
Sejak saat itu, aku tak pernah menanyakan namanya. Aku hanya duduk dan bercerita tentang pasar dan dagangan telor ayam.Â
Tentang pembeli yang datang hanya membeli sebutir telor ayam, tentang pagi dan kopiku yang sering kutumpahkan, tentang harga telor yang naik gunung, atau terjun sedikit ke lembah, tentang ayam yang tak pernah aku punyai, tentang pasar yang sedang didatangi petugas dari pemerintah, tentang orang yang selalu ngutang, tentang semua yang tak mungkin aku ceritakan pada orang lain.
Terkadang ia hanya diam, tapi aku suka saat matanya berbinar, dan sesekali ia melempar senyum lamat di pipinya. Lesung pipi itu yang membuatku terpana.Â
Hingga suatu ketika, aku melihatnya menulis satu nama, dan mengucapkannya, "Tere. Namaku Tere," dengan senyum yang membuat hatiku meleleh seketika.
Ya, dua tahun berlalu, dan persahabatanku semakin tebal dengannya. Kadang ia kuajak ke pasar. Ya, akhirnya aku mendapat teman.Â
Ia mulai belajar melayani pembeli. Tak pernah kukira, ia wanita yang sangat cerdas. Cepat sekali ia belajar, bahkan untuk membedakan mana pelanggan yang pelit, jujur, atau yang clemer, mengambil telor tanpa membayar.
Hariku indah bersamanya. Ia bukan lagi Tere yang hanya duduk di bawah pohon samanea saman. Ia Tere yang berani menatap mata orang lain. Ia Tere yang menemukan kembali dunianya yang sempat hancur.
Setiap hari aku memesan segelas coklat hangat yang bersanding dengan segelas kopi di atas meja kasirku di pasar. Ia wanita yang sangat ramah. Perasaannya sangat halus.
"Terimakasih, Bu. Besok datang lagi ya," seuntai kalimat halus itu selalu meluncur usai ia melayani pembeli yang kurasa makin hari makin bertambah banyak.
Begitu setiap hari selama dua tahun ini Tere menghiasi hariku. Bila pasar sepi, kami habiskan hari dengan banyak bercerita. Ia menyukai ceritaku. Ia selalu ingin mendengarkan ceritaku.
Hingga ia menunjukkan sebuah foto. Ya, fotonya bersama seorang lelaki, membuatku bergetar dan sebuah rasa aneh mengalir bersama darahku, cepat, melaju terpompa oleh degub jantungku.Â
Ingin rasa hatiku meraih ponselnya. Kulempar jauh ke jalan raya agar tak ada lagi foto itu dalam genggamannya.
Tapi tidak. Aku memilih menarik napasku. Dan mencoba menggulung sebuah rasa sesak ini dalam lipatan senyuman. Aku cemburu? Ya. Aku marah? Ya. Ingin rasanya kuremukkan wajah lelaki tak berperasaan itu.
"Re...tiap kali liat foto ini kau menangis. Maukah kau tak lagi menangis? Ia sudah pergi. Kau masih di sini,"
"Tapi, Han, dia..."
"Bergeraklah, Re. Berdamailah dengan dirimu. Berdamailah dengan masa lalumu, dan longgarkan. Kau ada di sini sekarang. Dia..."
"Dia janji akan datang lagi, Han," isaknya mulai mengguncang jiwa yang rapuh.
"Kapan, Re?" Tere hanya diam dalam tangisnya. "Ia sudah pergi," kusibak beberapa helai rambut yang dibiarkannya terurai.
"Nomornya masih aktif, Han,"
"Ok. Hubungi dia sekarang," pintaku pelan. Kuraih gawai hitam di meja, kusentuh nama lelaki laknat yang telah membiarkan wanitaku ini hancur.
Lama terdengar nada tunggu. Aku pun berharap cemas. Jika saja bisa terhubung dan Tere jatuh lagi dalam pelukan lelaki itu. Ah, biar saja.Â
Tapi beruntungnya aku. Ponsel itu tak diangkat. Beruntung? Apakah aku terlalu egois? Apakah perasaan ini benar, aku bersuka di atas luka Tere. Namun aku hanya terdiam.
Jika saja kau mampu melihat aku, Tere. Lihat. Aku di sini. Bersamamu. Bukan hantu itu, Tere.Â
"Besok, kita jalan ke Jogja yuk. Kamu mau, Tere?"
Jemarinya sibuk memainkan rok putih yang kubelikan saat Lebaran. Wajah ayunya kembali menunduk. Matanya menatap meja kasir, bola matanya tak henti bergerak ke kanan dan ke kiri. Bibir sempurnanya ia gigit sedikit. Kulihat ia menelan ludah berulang kali.
"Han...Jogja itu, rame," aku tersenyum dan memperhatikan kegelisahan wanita ayu di hadapanku.
"Tentu saja, kalau kita ke pasar, atau mall, atau tempat wisata yang lain. Kalau Tere mau, kita pergi ke tempat yang ga ada orang, gimana ?"
"Ke mana, Han?"
"Kuburan," gelak tawaku segera membahana, dan sebuah cubitan halus mendarat di pinggangku.
" Kita ke Malioboro, gimana?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk sekali dan senyumnya kembali merekah, menghiasi wajahnya yang merona.
***
Dan, inilah kami. Aku berjalan cepat mengikuti langkah Tere dan lelaki itu. Sesampainya di sebuah gang dekat pasar, ia meraih lengan Tere.Â
Sesaat aku ingin menghajarnya. Menghabisi nyawa lelaki yang hanya mampu meninggalkan luka bagi wanitaku. Namun langkahku terhenti. Mataku menatapnya nyalang. Amarah telah bergemuruh dalam dadaku.Â
"Tere, tunggu!" sergah lelaki berkulit coklat dan berpenampilan layaknya seorang seniman itu.
"Apa lagi, mas? Apa yang harus aku tunggu?"
"Aku harus pergi,Re,"
"Ya. Meninggalkan aku, meninggalkan semua cerita dan mimpi yang telah kau berikan padaku, mas? Mas, tiba-tiba kau pergi begitu saja!!" teriak Tere. "Dan bodohnya aku, aku selalu menunggumu menelfonku, dan menunggu notif darimu setiap hari. Setiap hari. Setiap hari !!!"
"Tere, aku bukannya ga mau. Aku...kau tahu aku bukan orang yang tak bisa memenuhi mimpimu. Aku...,"
"Sudahlah. Aku tahu kau harus memilih. Dan aku bukan lagi wanita cantik dan cerdas seperti yang kau mau, bukan? Aku hanya wanita sok tahu, sok pintar. Karna kau sudah menemukan pembandingku.,"
"Kau selalu berpikir seperti itu, "
"Ya. Sudahlah...aku pun harus memilih."
"Itulah kau, Tere. Itulah kau yang selalu menilai segalanya menjadi penting bagi dirimu sendiri," Tere hanya mengangguk pelan. Menangis.Â
Kudekati lelaki itu. Kegeramanku makin meningkat. "Hei, Bung. Kau sapioseksual? Sapio, sapio pala loe somplak!" satu pukulan akhirnya kuhadiahkan pada lelaki hantu itu.Â
Tubuhnya sempoyongan. "Jangan pernah sekali pun kau dekati Tere lagi. Atau kita pasti berurusan lagi. Kau tahu?" kupeluk tubuh Tere.Â
Aku merangkul tubuh gemetaran yang kini bersamaku. Kugandeng tangannya untuk meninggalkan masa lalu, meninggalkan ghosting yang menggerayangi tidur malamnya.
Kau adalah masa kini, Tere. Mari bergerak. Dan perasaanmu akan berubah. Wanitaku.
*Solo...saat momentum itu datang, saatnya mengendorkan masa lalu dan sadari hidup masa kini...have a great day...thanks for my beloved reader 'n admin K...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H