Tentang pembeli yang datang hanya membeli sebutir telor ayam, tentang pagi dan kopiku yang sering kutumpahkan, tentang harga telor yang naik gunung, atau terjun sedikit ke lembah, tentang ayam yang tak pernah aku punyai, tentang pasar yang sedang didatangi petugas dari pemerintah, tentang orang yang selalu ngutang, tentang semua yang tak mungkin aku ceritakan pada orang lain.
Terkadang ia hanya diam, tapi aku suka saat matanya berbinar, dan sesekali ia melempar senyum lamat di pipinya. Lesung pipi itu yang membuatku terpana.Â
Hingga suatu ketika, aku melihatnya menulis satu nama, dan mengucapkannya, "Tere. Namaku Tere," dengan senyum yang membuat hatiku meleleh seketika.
Ya, dua tahun berlalu, dan persahabatanku semakin tebal dengannya. Kadang ia kuajak ke pasar. Ya, akhirnya aku mendapat teman.Â
Ia mulai belajar melayani pembeli. Tak pernah kukira, ia wanita yang sangat cerdas. Cepat sekali ia belajar, bahkan untuk membedakan mana pelanggan yang pelit, jujur, atau yang clemer, mengambil telor tanpa membayar.
Hariku indah bersamanya. Ia bukan lagi Tere yang hanya duduk di bawah pohon samanea saman. Ia Tere yang berani menatap mata orang lain. Ia Tere yang menemukan kembali dunianya yang sempat hancur.
Setiap hari aku memesan segelas coklat hangat yang bersanding dengan segelas kopi di atas meja kasirku di pasar. Ia wanita yang sangat ramah. Perasaannya sangat halus.
"Terimakasih, Bu. Besok datang lagi ya," seuntai kalimat halus itu selalu meluncur usai ia melayani pembeli yang kurasa makin hari makin bertambah banyak.
Begitu setiap hari selama dua tahun ini Tere menghiasi hariku. Bila pasar sepi, kami habiskan hari dengan banyak bercerita. Ia menyukai ceritaku. Ia selalu ingin mendengarkan ceritaku.
Hingga ia menunjukkan sebuah foto. Ya, fotonya bersama seorang lelaki, membuatku bergetar dan sebuah rasa aneh mengalir bersama darahku, cepat, melaju terpompa oleh degub jantungku.Â
Ingin rasa hatiku meraih ponselnya. Kulempar jauh ke jalan raya agar tak ada lagi foto itu dalam genggamannya.