Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman (Part 9: The Grand Coronation)

8 Januari 2020   09:19 Diperbarui: 8 Januari 2020   09:30 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu berbalut kelam. Entah berapa lama aku berada dalam dimensi alam yang lain. Dimensi yang menautkan misteri bagi kaum Nevirit, begitulah bahasa para peri untuk menyebut manusia. 

Kabut telah turun. Tebing ini telah disulap menjadi ruangan-ruangan ajaib oleh Tuan Dunberg dan semua peri penikmat pengetahuan.

Ruang paling besar menyerupai aula terbuka berada di samping sayap kanan tebing. Ruang itu biasa kami gunakan sebagai tempat belajar, atau sekedar berbagi ilmu yang perlu diujikan. Namun terlebih sering ruang yang disebut Maxima Postulat.

Ada ruang tempat biasanya Bu Oscha mengajarkanku bagaimana bersikap dan bertutur kata, serta berbusana layaknya seorang Puteri Raja. Ruang yang sangat menyebalkan untukku, dan Thea. 

Kami berdua sering pergi menjauhi kelas Bu Oscha. Aku sering sekali tersiksa dengan bagaimana aku harus mengulurkan tangan, kepada lelaki yang belum kukenal, dan menunggunya menyambut uluran tanganku.

Bagaimana aku harus berjalan dengan dada yang sedikit membusung namun tak begitu tegap seperti prajurit. Bagaimana aku harus mengenakan baju berjuta macam untuk berbagai acara  kerajaan yang berbeda. 

Gaun untuk pesta malam, untuk berjalan-jalan, untuk menghadiri pesta dengan teman, keluarga, atau dengan tamu kenegaraan, belum lagi gaun hitam yang harus kupakai jika ada keluarga kerajaan yang meninggal, entah berapa banyak aturan yang harus kuhafalkan. Oh....dunia apa ini? Semua begitu menyiksaku. 

Cara aku duduk, bahkan memandang lawan bicaraku hingga mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang tepat harus aku pelajari dengan lengkap dan sangat rumit. Belum lagi protokoler kerajaan saat aku naik kereta, atau turun kereta, kaki mana dulu yang harus kupijakkan pada tanah. Oh, tolonglah aku....

Lihat caraku berdandan. Sanggul rambutku pun harus memakai aksesoris yang berbeda untuk keperluan yang berbeda. Bulu-bulu panjang yang tinggi harus menempel di kepalaku.

Dan kerangka dari logam ringan kecil berbentuk bulat lebar, dan terlalu merepotkanku, harus kupakai sebelum memakai gaun pesta, baik yang berkerah lebar untuk memperlihatkan bahu dan leherku, atau pun kerah yang menutup leherku. Oh, Ayah...berapa lama lagi aku harus belajar seperti ini?

Dan begitulah beberapa hari ini Bu Oscha,yang cara berjalannya bak angsa yang sedang menari di tengah kolam kerajaan, kini lebih sering menyiksaku dengan pelajaran "anggun" seorang Puteri.

Hhhfffh....

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang empuk, wangi dan menenangkan ini. Ingin rasanya kupejamkan mataku yang mulai perih karena kering. Tak ingin kugerakkan tubuhku saat ada beberapa pelayan perempuan mengetuk pintu dan memasuki ruang kamarku.

"Oh, akhirnya kalian datang," sapaku pada pelayan perempuan yang berbadan gemuk. Apron putih melingkar di bagian depan seragam pelayan membuatnya seperti sosok Mrs. Martha, si pemilik kedai kopi kesukaan Boone. Aku sangat mengingat wanita setengah baya yang hangat dan murah senyum itu. Dan, oh, Boone...aku masih mengingatmu.

"Maaf, Tuan Puteri, kami harus mempersiapkan Anda mulai dari hari ini. Tiga hari lagi, Anda harus menemui Raja, yang akan memperkenalkan Anda pada seluruh rakyat kerajaan Filya,"ujar pelayang gendut berwajah bulat dengan pipi yang merona merah hampir menutupi wajahnya. 

Suaranya yang kecil melengking tinggi tak sebanding dengan badannya yang sebesar ya...sofa malasku yang kadang didudukinya. Ia hanya pelayan, tapi hanya dia yang selama ini mampu mengenali apa kemauanku tanpa aku menyuruhnya. Tak apalah bagiku, hanya sebuah sofa di sudut ruangan yang hampir tak pernah kududuki.

Nama pelayan itu Helen. Ia sangat suka menyisir rambutku. Katanya rambut ikalku lembut seperti sutera, halus, dan katanya belum ada bangsawan yang pernah memilikinya. Ia peri baik hati untukku. Tubuhnya yang gempal membuatku selalu merasa hangat karena ia selalu memelukku saat aku merindukan hangatnya kasih seorang ibu.

Hari terus berlalu, tiga hari ternyata tak terlalu lama. Dan mentari pagi segera mengusir kabut yang menudungi setiap jengkal bukit di kerajaan Filya. Dan ya,  rakyat Filya sangat menantikan hari bersejarah ini .

Rumah-rumah penduduk semua dihias begitu rupa. Mulai dari hiasan berbagai macam bentuk yang terbuat dari kaca beragam warna dengan ornamen bunga dan daun, hingga tugu-tugu di pusat keramaian kota dihias dengan pita indah dari jalinan benang keemasan dan lampu-lampu hias yang didalamnya terdapat nyala api bertebaran di setiap sudut kota.

Malam serasa bukan malam. Di tugu pusat kota, berkumpul para seniman yang tak puas berbagi dendang dan menari riang demi hadirnya sebuah pesta yang telah ditunggu lama.

Hidangan dari rumah tiap penduduk tersaji rapi di deretan meja sebelah selatan tugu, dimana setiap mereka yang datang dipersilakan menikmatinya. Minuman dan makanan, musik, lagu dan tarian, para pria dan wanita, besar dan kecil, semua tak meninggalkan rasa senang di malam itu.

Demikian pula gemuruh dalam dadaku. Sekian lama aku mencoba memahami, apakah ini semua hanyalah mimpi? Kusibak sedikit kain penutup jendela keretaku. Semua bergembira. 

Tanganku mulai meremas gaun malam warna merah bata dengan pernak-pernik warna emas yang bertaburan di seluruh bagian gaun yang kini membalut tubuhku.

Helen memakaikan mantel bulu berwarna putih bertabur batu-batu kristal berkilauan, dan tebalnya yang sangat membatasi gerakanku ini menambah berat gaun yang kupakai. Dan inilah aku, seorang Sherin yang bergelar Puteri Raja, sedang melangkah menuju ruang singgasana Raja Filya, Ayahandaku.

Kedatanganku disambut dengan meriahnya dentuman kembang api yang memercik indah di angkasa Filya malam itu. Di sebelah kanan dan kiriku ada pengawal yang berbaris rapi dengan tombak yang menjulang sedikit lebih tinggi dari prajurit yang memegangnya.

Tak berani kulirik lebih jauh lagi. Pandanganku menatap ke depan. Ada sesosok Raja yang tegap, tinggi, dan gagah berdiri di depan tahtanya. Oh, andai saja kau sedekat dulu, Ayah....aku rindu. Sungguh, aku ingin memelukmu, mendekap erat engkau yang selalu memberikan ketenangan bagiku dalam kehangatan pelukanmu. 

Namun yang berdiri di sana, tersenyum begitu berwibawa adalah Raja Kerajaan Filya.

Pesta segera digelar begitu meriah setelah usai perhelatan pemberian mahkota kerajaan dan tongkat emas, sebagai lambang keturunan bangsawan Filya, penerus tahta kerajaan Filya.

Gegap gempita rakyat Filya terdengar riuh menggelora memecah keheningan malam yang buntu mencari celah untuk lepas dari kabut yang tak jua melepas jeratnya, mengurung bukit-bukit perkasa kerajaan Filya.

Di istana, aku tersiksa dengan gaun yang membuat sesak nafasku. Dan hanya satu peri yang tahu gelagatku menyimpan segala amarah serta kejengkelan dalam tiap senyuman yang harus kutebar di antara para pangeran dan duta kerajaan lain.

"Thea...sst Thea..." bisikku lirih mengundang lirikan Thea yang segera menghamburkan tubuh ringannya ke arahku.

"Ya, Tuan Puteri, apa yang bisa hamba bantu?"

"Bantu aku keluar dari tempat ini,"

"Maaf, Tuanku. Sebentar lagi jamuan makan malam dan pesta dansa segera selesai. Mohon bersabar,"

"Hhhsssh...." rasanya ingin kuucap mantra Tuan Dunberg dan menghilang dari tempat riuh ini.

Musik mengalun menjadi lembut. Tangan kuulurkan pada Pangeran Alvar. Bukan karena apa, namun yang aku tahu, kerajaan kecilnya masih terikat saudara dengan keluargaku. Alvar adalah sepupuku. 

Ia seorang ksatria yang ternama karena kemahirannya mengadakan negosiasi dengan kerajaan lain, sehingga kerajaan kecilnya yang dahulu hanya sebentuk kastil dengan beberapa penduduk desa di sekitarnya kini berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil yang cukup ramai dengan pasar dan tempat-tempat uniknya.

Sesaat musik mengalun. Alvar masih bersamaku. Kami masih menikmati dansa bersama dengan beberapa tamu yang ikut memuluskan lantai aula istana dengan dansa yang lebih mirip senam berirama. 

Sesaat mataku melihat sepasang mata yang menatapku tajam. Tatapan yang membuat genggaman tangan Alvar kulepaskan. Aku mengejar sosok itu. Thea ada di belakangku.

Tanpa memperdulikan para tamu yang masih enggan meninggalkan tempat pesta, aku berlari mengejar sosok pria tegap yang mencoba menghilang dari pandanganku. 

Di lorong yang sepi kuberanikan berteriak, memanggil namanya, "Boone berhenti!!"

Ia menghentikan langkahnya. Menoleh ke arahku, dan memelukku erat, dan kami diam dalam beribu kata yang tak mampu terucap. Isak tangisku perlahan mengalir tak tertahankan.

"Boone, mengapa kau pergi?" detak jantungnya terdengar begitu memburu. Aku masih dalam pelukan eratnya.

"Maafkan aku, Tuan Puteri, maafkan aku,"

"Tuan Puteri, maaf, tapi kita harus segera pergi," Thea menukas habis segala badai yang membantai hati kami berdua.

"Ya, kau harus pergi, Tuanku,"Boone segera melepas pelukannya, mengusap air mata yang masih deras mengalir dari mataku. Jemarinya yang kasar namun kuat menghapus rasa engganku meninggalkan masa yang seakan merentangkan kekuasaannya kembali atas kami berdua.

"Boone...."panggilku pelan saat tangan Thea memelukku meninggalkan lelaki yang selama ini menyelami benak dan samudera mimpiku.

Boone masih di situ. Ia seolah sebagai ksatria perkasa yang tak mampu berbuat apa pun, ia telah menyerah pada belenggu kasta dan norma peraturan tanpa pernah mau melawannya sedikit pun.

Cinta seakan bukan lagi senjata tertajam yang pernah ada di alam semesta. Ya, mungkin itu hanya milik kaum Nevirit. Kaum ibuku. Yang juga telah menyerah pada kematian tanpa seutas kalimat pun tertinggal bagiku.

Aku meninggalkannya. Aku meninggalkan Boone yang sujud dan tersedu menangis. Badan tegapnya tergoncang kuat, seperti sebuah kapal yang digoncangkan badai hebat di sudut istana. 

Boone....aku mencintaimu, sayang.... Tapi terkadang kita harus memahami, ada pertemuan, yang tak usah kita mengerti maknanya. Hanya kita jalani saja. Hingga tiba saatnya kita memahami bahwa pertemuan tak mampu menyuguhkan seikat rasa untuk selalu menjadi bersama.

*Solo,... yeay...akhernya aku nulis lagi :) wish me luck for the next adventure. Bakal ada yang seru nih di part 10. Hmmmh, what bout the war?... So, still be there in K...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun