"Maafkan aku, Tuan Puteri, maafkan aku,"
"Tuan Puteri, maaf, tapi kita harus segera pergi," Thea menukas habis segala badai yang membantai hati kami berdua.
"Ya, kau harus pergi, Tuanku,"Boone segera melepas pelukannya, mengusap air mata yang masih deras mengalir dari mataku. Jemarinya yang kasar namun kuat menghapus rasa engganku meninggalkan masa yang seakan merentangkan kekuasaannya kembali atas kami berdua.
"Boone...."panggilku pelan saat tangan Thea memelukku meninggalkan lelaki yang selama ini menyelami benak dan samudera mimpiku.
Boone masih di situ. Ia seolah sebagai ksatria perkasa yang tak mampu berbuat apa pun, ia telah menyerah pada belenggu kasta dan norma peraturan tanpa pernah mau melawannya sedikit pun.
Cinta seakan bukan lagi senjata tertajam yang pernah ada di alam semesta. Ya, mungkin itu hanya milik kaum Nevirit. Kaum ibuku. Yang juga telah menyerah pada kematian tanpa seutas kalimat pun tertinggal bagiku.
Aku meninggalkannya. Aku meninggalkan Boone yang sujud dan tersedu menangis. Badan tegapnya tergoncang kuat, seperti sebuah kapal yang digoncangkan badai hebat di sudut istana.Â
Boone....aku mencintaimu, sayang.... Tapi terkadang kita harus memahami, ada pertemuan, yang tak usah kita mengerti maknanya. Hanya kita jalani saja. Hingga tiba saatnya kita memahami bahwa pertemuan tak mampu menyuguhkan seikat rasa untuk selalu menjadi bersama.
*Solo,... yeay...akhernya aku nulis lagi :) wish me luck for the next adventure. Bakal ada yang seru nih di part 10. Hmmmh, what bout the war?... So, still be there in K...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H