Demikian pula gemuruh dalam dadaku. Sekian lama aku mencoba memahami, apakah ini semua hanyalah mimpi? Kusibak sedikit kain penutup jendela keretaku. Semua bergembira.Â
Tanganku mulai meremas gaun malam warna merah bata dengan pernak-pernik warna emas yang bertaburan di seluruh bagian gaun yang kini membalut tubuhku.
Helen memakaikan mantel bulu berwarna putih bertabur batu-batu kristal berkilauan, dan tebalnya yang sangat membatasi gerakanku ini menambah berat gaun yang kupakai. Dan inilah aku, seorang Sherin yang bergelar Puteri Raja, sedang melangkah menuju ruang singgasana Raja Filya, Ayahandaku.
Kedatanganku disambut dengan meriahnya dentuman kembang api yang memercik indah di angkasa Filya malam itu. Di sebelah kanan dan kiriku ada pengawal yang berbaris rapi dengan tombak yang menjulang sedikit lebih tinggi dari prajurit yang memegangnya.
Tak berani kulirik lebih jauh lagi. Pandanganku menatap ke depan. Ada sesosok Raja yang tegap, tinggi, dan gagah berdiri di depan tahtanya. Oh, andai saja kau sedekat dulu, Ayah....aku rindu. Sungguh, aku ingin memelukmu, mendekap erat engkau yang selalu memberikan ketenangan bagiku dalam kehangatan pelukanmu.Â
Namun yang berdiri di sana, tersenyum begitu berwibawa adalah Raja Kerajaan Filya.
Pesta segera digelar begitu meriah setelah usai perhelatan pemberian mahkota kerajaan dan tongkat emas, sebagai lambang keturunan bangsawan Filya, penerus tahta kerajaan Filya.
Gegap gempita rakyat Filya terdengar riuh menggelora memecah keheningan malam yang buntu mencari celah untuk lepas dari kabut yang tak jua melepas jeratnya, mengurung bukit-bukit perkasa kerajaan Filya.
Di istana, aku tersiksa dengan gaun yang membuat sesak nafasku. Dan hanya satu peri yang tahu gelagatku menyimpan segala amarah serta kejengkelan dalam tiap senyuman yang harus kutebar di antara para pangeran dan duta kerajaan lain.
"Thea...sst Thea..." bisikku lirih mengundang lirikan Thea yang segera menghamburkan tubuh ringannya ke arahku.
"Ya, Tuan Puteri, apa yang bisa hamba bantu?"