Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengajak Anak Menjadi Lebih Komunikatif

30 Desember 2019   14:31 Diperbarui: 31 Desember 2019   09:19 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

Seorang ibu memenuhi janjinya sore itu untuk bertemu dengan saya. Di tengah perbincangan kami, beliau sempat menyebutkan tentang permasalahan anaknya yang kini berusia sekitar 13 tahun.

Menginjak usia 6 tahun, si anak sangat susah untuk berbicara. Bukan gagap, bukan pula gagu. Hanya saja si anak ini sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua yang ada dalam kepalanya, sehingga hal ini tak jarang menimbulkan kesalahpahaman antara si anak dengan orang yang diajak berkomunikasi.

Dibawa ke beberapa ahli terapi hanya membantu si anak yang juga merupakan siswa aktif saya, tak kunjung menampakkan perubahan yang signifikan. 

Mungkin memang daya komunikasi anak tersebut tidaklah terlalu buruk, namun ia tak mampu mengekspresikan ide dan gagasannya yang menurut saya pribadi sebenarnya merupakan ide-ide brilian.

Apakah ada di antara Anda sekalian pernah menemui kasus serupa? Mungkin banyak di antara kita yang tengah menghadapi situasi yang sama. Anak merasa tertutup, dan seringkali stres karena kejengkelan yang memuncak jika tak mampu mengkomunikasikan idenya dengan lancar.

Kegigihan dan peran serta orangtua sangatlah diperlukan dalam hal ini. Jangan sampai ketidakmampuan anak untuk berkomunikasi menjadi penghalang bagi anak-anak untuk menumpahakan ide brilian yang mungkin telah tersimpan jauh di kedalaman pemikiran anak-anak kita

Mari, saya di sini pun belajar untuk menangani dilema dan problem yang sama. Saya akan membagikan beberapa tips yang mungkin dapat membantu proses anak untuk dapat berkomunikasi dengan lebih nyaman.

1. Komunitas
Memilih komunitas yang tepat bagi anak usia remaja akan membangun karakter anak dan menghasilkan nilai diri yang unggulan.

Bagaimana seorang anak mampu bergaul ditentukan seberapa jauh anak tersebut mau membuka diri bagi hadirnya teman dalam kehidupan mereka. 

Teman yang memiliki hobi ataupun kegemaran yang sama akan membuat si anak yang pada umumnya adalah introvert, akan lebih merasa diterima dalam lingkungannya.

Sedangkan teman yang pro aktif dalam sebuah komunitas akan membantu si anak untuk mau tak mau, suka atau tak suka, "harus" terlibat dalam komunikasi publik dalam komunitas tersebut. Mau tak mau ia harus berkomunikasi dengan teman-temannya, karena ia berada di komunitas, di sekeliling orang-orang yang mempunyai kegemaran yang sama.

Mungkin mengikuti satu komunitas belumlah cukup, usahakan ada beberapa komunitas sejenis yang anak akan ikuti. 

Hal ini akan membawa anak untuk mampu menambah wawasan dan wacana terutama pada hobi yang dia tekuni. Namun sekiranya bisa, usahakan komunitas-komunitas ini tidak membuat beban bagi si anak.

Waktu bersama keluarga tetaplah harus mendapatkan prioritas utama.

2. Membaca
Wow, aktivitas keren yang saat ini tidak banyak dipunyai oleh sebagian besar anak-anak remaja, dikarenakan mereka terbiasa dengan menkonsumsi informasi dari jejaring sosial dengan kecanggihan audio dan visual yang makin canggih dan mudah diakses, sehingga lebih memilih untuk belajar dari YouTube, contohnya, yang lebih mampu menyuguhkan informasi dalam bentuk audio dan visual bergerak dengan aneka warna.

Saya bukan ingin menyatakan sikap apatis terhadap YouTube. Tentu saja begitu banyak informasi yang dapat kita dapatkan dari konten-konten yang disuguhkan oleh jejaring sosial satu ini.

Namun apa yang tak mampu dilakukan YouTube adalah ketidakmampuannya untuk memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan sesuai level pengetahuan dan pengertian kita masing-masing. Sehingga jika konten yang dikonsumsi tepat level, maka akan menjawab kebutuhan kita. Tetapi tidak semua konten YouTube benar-benar "lurus" ada juga yang"miring-miring". Bayangkan saja jika anak kita mendapatkan informasi yang"miring-miring". Apa yang akan terjadi nantinya?

Axel (bukan nama sebenarnya) adalah seorang anak sangat aktif dan tak mau diam. Sangat sulit bagi kami, orangtua dan para guru untuk membuat dia mengerjakan lembar tugas dengan sikap belajar yang benar.

Saya hanya memberi saran kepada orangtuanya untuk membiasakan Axel membaca. Dan setelah 6 bulan terakhir, dengan usaha sang Mama yang setiap hari konsisten mengharuskan Axel membaca komik kesukaannya (yang memang tebal) akhirnya Axel mampu mengatur dirinya sendiri untuk mempunyai sikap belajar yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Kebiasaan membaca akan membentuk anak untuk mampu mengolah informasi sesuai kebutuhan dan level penguasaannya pada menteri tertentu. Sehingga pada pertemuan kami berikutnya, Axel pun mampu mengembangkan potensi self learning dalam dirinya, dan mempunyai sikap belajar yang lebih baik.

Membiasakan anak-anak untuk mau membaca buku adalah solusi yang tidak mudah. Karenanya tidak mengapa jika memang untuk mengawali budaya membaca ini dari buku-buku yang mempunyai lay out berwarna-warni. Kek anak kecil aja....well, that will be fine...

Mengawali segala sesuatu dari hal yang menyenangkan akan lebih menyenangkan, dari pada mengawali hal yang dirasa sulit dengan hal yang memang sudah membuatnya susah dan membebaninya.

Kembali pada kebutuhan anak untuk bisa mengekspresikan dirinya. Dengan membaca seorang anak yang tak mampu berkomunikasi dengan baik, akan menambah kosakatanya, sehingga diharapkan ia mampu mengkomunikasikan semua idenya dengan lebih nyaman.

3. Menulis atau menggambar
Haruskah?
Mungkin cara ini adalah satu dari sekian cara agar ide dan gagasan anak kita tertuang dalam bentuk sebuah karya.

Karya? Bukankah itu terlalu jauh?

Mengapa tidak?

Ketika kosa kata anak telah banyak, maka akan ada tahapan lain. Jika si anak adalah seseorang yang berkarakter ekstovert, mungkin ini bukan hal yang sulit baginya untuk bersosialisasi.Namun bagi anak introver ini akan tetap menjadi hal yang sangat sulit.

Cara untuk meminimalisir kesalahpahaman akibat ketidakmampuan anak untuk berkomunikasi adalah dengan menuliskan semua ide si anak dalam bentuk narasi maupun gambar.

Memang ini cara penyaluran ide yang bagi sebagian orang masih dianggap konyol karena mengira menulis adalah hal yang tak mudah dilakukan. Oh yha? 

Jangan kuatir di laman-laman Kompasianer lain, mungkin telah banyak dipaparkan bagaimana tips menulis yang benar beserta dengan contoh aplikasinya.

Yang saya ingin bagikan di sini adalah edukasi menulis bagi anak-anak. Bukan harus dengan bahasa yang sulit, namun cobalah membiasakan mereka untuk menulis hal-hal yang dirasa perlu bagi keseharian mereka.

Membuat time table mereka, atau dengan menuliskan apa pun yang mereka alami dan rasakan dalam jurnal atau diary mereka. Atau menggambar segala sesuatu yang sempat dilihat mereka di sepanjang perjalanan mereka. Hal ini akan lebih menarik jika kita, orangtua ikut berperan di dalamnya. Menumbuhkan jiwa menulis dalam diri seorang anak bukan hal yang mudah? Mari awali dengan hal yang menyenangkan bagi mereka.

Sebagai penutup, saya akan membagikan kisah nyata tentang seorang anak kecil yang pada usia 2 tahun, belum dapat berbicara. Kemampuan verbalnya sangat kurang. Namun sang ibunda tak jua menyerah untuk membuat anak ini mampu berkomunikasi dengan setiap orang yang dijumpainya.

Ibu ini sangat tekun, dengan membimbing anaknya berbicara. Hingga usia 5-6 tahun si anak masih belum mampu sepenuhnya menuangkan apa yang ia simpan dalam benak dan pemikirannya, dan ini yang dianggap sebagai penghalang, sehingga sebagian besar sekolah menolaknya. Selain karena usianya yang memang dianggap terlalu dini untuk memasuki dunia sekolah dasar. Namun begitu sang ibunda masih tetap berusaha.

Hingga ada satu sekolah negeri di dalam kampung yang mau menampung anak kecil ini. Ia tumbuh dalam lingkungan, di mana ayahnya mempunyai kegemaran membaca buku-buku karya Khoo Ping Hoo. Entah mengapa dengan membaca buku-buku karya Kho Ping Hoo, juga majalah Intisari milik ayahnya, ia tumbuh menjadi anak kecil yang lebih suka untuk menulis.

Beranjak remaja dan dewasa, anak ini mencoba membaurkan dirinya dalam beberapa komunitas kerohanian, sehingga ia sangat senang kala teman-temannya menjadi lebih banyak.

Kegemarannya menulis semakin bertambah saat beberapa cerpen dan puisi, serta beberapa artikel bebas ia tulis di majalah sekolah. Dan betapa girangnya ia ketika mampu menghasilkan uang dengan mengirimkan artikel dan kaya nonfiksinya ke majalah sekolahnya.

Ia terlihat semakin percaya diri setelah mengikuti beberapa loka karya leadership untuk membantunya berkomunikasi di depan publik.

Dan sekarang, anak kecil itu telah tumbuh sebagai wanita yang mampu bertahan dalam hidup bersosial. Anak kecil itu kini tumbuh sebagai wanita yang tulisannya saat ini Anda sekalian baca. Ya, sayalah anak kecil itu.

Dan sekiranya bisa, biarlah apa yang saya bagikan ini dapat menjadi masukan bagi kita yang tengah menghadapi kesulitan dengan anak-anak yang sulit untuk berkomunikasi, apalagi bersosialisasi.

Salam edukasi anak negeri....!!!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun