Ibu ini sangat tekun, dengan membimbing anaknya berbicara. Hingga usia 5-6 tahun si anak masih belum mampu sepenuhnya menuangkan apa yang ia simpan dalam benak dan pemikirannya, dan ini yang dianggap sebagai penghalang, sehingga sebagian besar sekolah menolaknya. Selain karena usianya yang memang dianggap terlalu dini untuk memasuki dunia sekolah dasar. Namun begitu sang ibunda masih tetap berusaha.
Hingga ada satu sekolah negeri di dalam kampung yang mau menampung anak kecil ini. Ia tumbuh dalam lingkungan, di mana ayahnya mempunyai kegemaran membaca buku-buku karya Khoo Ping Hoo. Entah mengapa dengan membaca buku-buku karya Kho Ping Hoo, juga majalah Intisari milik ayahnya, ia tumbuh menjadi anak kecil yang lebih suka untuk menulis.
Beranjak remaja dan dewasa, anak ini mencoba membaurkan dirinya dalam beberapa komunitas kerohanian, sehingga ia sangat senang kala teman-temannya menjadi lebih banyak.
Kegemarannya menulis semakin bertambah saat beberapa cerpen dan puisi, serta beberapa artikel bebas ia tulis di majalah sekolah. Dan betapa girangnya ia ketika mampu menghasilkan uang dengan mengirimkan artikel dan kaya nonfiksinya ke majalah sekolahnya.
Ia terlihat semakin percaya diri setelah mengikuti beberapa loka karya leadership untuk membantunya berkomunikasi di depan publik.
Dan sekarang, anak kecil itu telah tumbuh sebagai wanita yang mampu bertahan dalam hidup bersosial. Anak kecil itu kini tumbuh sebagai wanita yang tulisannya saat ini Anda sekalian baca. Ya, sayalah anak kecil itu.
Dan sekiranya bisa, biarlah apa yang saya bagikan ini dapat menjadi masukan bagi kita yang tengah menghadapi kesulitan dengan anak-anak yang sulit untuk berkomunikasi, apalagi bersosialisasi.
Salam edukasi anak negeri....!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H