Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 7: The Voyage]

18 Oktober 2019   20:43 Diperbarui: 18 Oktober 2019   21:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara dentuman bom itu terdengar lagi. Membangunkan aku dari lamunan. Thea segera melihat keluar dari balik jendela ruang tamu.

"Bagus. Kita terjebak. Pasukan Lumira mulai menguasai kota ini, Tuan Puteri," kata Thea.

Ia menarik tanganku dan membuka pintu basement. Ya, gudang bawah tanah. Lalu ia mengunci pintu kecil basement. Kami duduk terdiam. Aku mendengar suara di ruang atas. Ada beberapa suara sepatu layaknya sepatu prajurit. 

"Masuk!!Periksa semua tempat, dan temukan liontin itu. Cepat !!" perintah sang kepala pasukan.

Suara hentakan sepatu prajurit menghiasi ruang atas, jelas menaiki tangga. Ada beberapa barang yang pecah. Ugh, menyebalkan. Rasanya aku ingin berlari, dan...dan apa yang kubisa? Mereka prajurit. 

Kupandangi belati kecil Thea. "Jangan berpikir macam-macam,"ancamnya.

"Kau kan prajurit? Buat apa kau di sini, Thea?"

"Apa maksudmu? Mereka ribuan dan aku sendiri? Saat..." tiba-tiba Thea menarik tanganku lalu ia mengajakku bersembunyi dan  meringkuk di sebuah lemari tua yang berdebu. Tangan kirinya membungkam mulutku. "Jangan bernafas. Aku serius."mataku melotot padanya.

Beberapa prajurit memasuki ruang basement. Aku benar-benar menahan nafasku di dalam lemari tua itu. Thea mengeluarkan benda kecil dari sakunya.

Benda kecil itu mengeluarkan hologram, menyelubungi kami berdua. Tiba-tiba lemari tua tempat kami bersembunyi terbuka.

Nampak olehku sesosok makhluk dengan wajah yang sangat menjijikkan. Matanya hanya satu, cukup besar, hingga terlihat seperti keluar dengan syaraf-syarafnya yang terlihat jelas. 

Hidungnya, oh, serupa dengan hidung babi. Mulutnya seperti mulut anjing dengan taring yang memanjang keluar. Kulitnya bersisik seperti sisik ikan. Baunya uuugh, hampir saja membuatku muntah. Begitu busuk, sebusuk ikan yang seminggu mati di akuariumku.

Untung saja lemari itu langsung ditutupnya. Setelah beberapa saat, tak kudengar lagi suara-suara ribut itu. Benda kecil di tangan Thea menyala hijau. 

"Oh, akhirnya mereka pergi," ucap Thea bernafas lega.

Aku berlari keluar basement. Perutku terasa begitu mual. 

"Puteri, kita harus kembali secepat mungkin. Atau Dunberg tua itu akan merapal mantra dan menjadikanku kodok penghias tamannya,"

"Liontin itu?"tanyaku

"Kita akan menemukannya. Tapi tunggu, aku mendengar dua orang itu menyebut nama. Arye dan Boone. Siapa mereka? Sepertinya nama itu tak asing bagiku,"

Jelas aku mengenal Boone. Tapi, aku tak akan memberitahu Thea. Tidak. Aku harus memastikannya lebih dulu.

"Ayo Tuanku, kita harus cepat," Thea membuat lingkaran dengan pedang besar, lalu memancar sinar keluar dari pedang itu. Segera ia arahkan ke dinding basement"Ostium porta." Dan dalam sekejap kami tiba di jalan. 

Jalanan begitu sepi. Lengang. Kota yang dulu ramai, dengan lalu lalang mobil, sekarang terlihat sunyi. Seperti kota mati. 

Tak ada lagi harum roti panggang  Madam Eulalie yang kusuka, tak ada lagi orang-orang di pinggir jalan menikmati hangatnya matahari pagi dengan secangkir kopi atau teh di depan kedai Tuan Gun.

Tak ada senyum Tuan Harry yang selalu menyapaku ramah di balik barbershop miliknya di sudut jalan. Tak ada lagi lelucon Mike penjual gelato yang banyak dikerumuni anak-anak kecil di siang hari. Tak ada. Semua hilang. Pemandangan itu semua berlalu.

Thea menemukan sebuah mobil di pinggir jalan. Kaca pintu depannya dipecahnya. Tak lama kemudian ia membuka pintu sebelahnya.

"Thea ini mobil siapa?"

"Entahlah. Ayo cepat. Kita harus menemukan Arye, si pencuri liontin kita."

"Tapi kita harus kemana, Thea?"

"Ke suatu tempat, Tuanku. Pelabuhan," mobil kami melaju cukup kencang, menyibak jalanan yang  masih lengang. 

"Buat apa ke pelabuhan, Thea?"

"Tuan, ingat Thea ini adalah prajurit. Kami punya alat pelacak. Tuan lihat ini?" sekali lagi Thea menunjukkan benda kecil dari ikat pinggangnya. "Ini yang menunjukkan si pencuri itu, Tuanku. Dan ... ternyata ia berasal dari dimensi yang sama dengan kita, Tuanku." 

Dimensi yang sama? Berarti, Boone, juga.... Oh, Boone. Ternyata aku bisa bertemu dengannya lagi. 

"Puteri, mengapa tersenyum?"sahut Thea. 

"Tidak, Thea ... Kau tak akan mengerti," sungguh, aku tak mungkin mengatakannya padamu, Thea. Tidak. Ini cintaku. Aku akan menyimpannya.

"Puteri, kita sedang berperang, dan....hhhh," kulihat Thea memutar bola matanya. Aku tahu ia jengkel. Kubiarkan saja. "Ini Tuanku. Kau mungkin akan membutuhkannya. Selipkan di kakimu," kata Thea sambil memberikan sebuah belati mungil dengan gagang berukir huruf "T" mungkin inisial Thea.

Tak sadar kami ikuti, sebuah mobil dalam jarak dua mil melaju cepat menyusuri jalan menuju ke pelabuhan dekat kota.

"Portal kita ada di buritan kapal tua itu, Pangeran. Semoga kapal itu tak berlayar hari ini," ujar Boone.

"Cepat Boone. Kapal itu sudah bersiap untuk berlayar !" teriak Arye.

Dua orang itu berlari secepat mungkin, menyusul sebuah kapal yang sudah dilepas tali pengikatnya di pelabuhan.

"Tunggu..!!" seru Boone.

Sadari ada dua orang yang berlari mengejar, seorang awak kapal berteriak pada Boone dan Arye yang telah melompat bergelantungan pada anak tangga kapal yang mulai terangkat ke atas, menyelamatkan mereka berdua kembali ke Saverian.

Aku dan Thea mengejar kapal tersebut. Kami berlari sekuat tenaga. Namun kapal itu telah menjauh dari pelabuhan. Pelan, namun pasti. Aku dan Thea terengah-engah. Namun kapal itu meninggalkan kami.

"Oogh.... Kita terlambat, Tuanku. Kita terlambat...," keluh Thea di tepi pelabuhan kecil itu. Ia duduk dan termenung. 

Aku berdiri termangu di tepian pelabuhan. Angin pantai menghembuskan nafasnya di ujung pelupuk senja. Layung jingga tertoreh indah di cakrawala barat. Mengawasi setiap debar jantung, kala kulihat sepasang mata menatapku tajam di atas kapal yang terlihat semakin menjauh pergi. 

Aku tahu itu kau, Boone. Aku tahu itu kau. Setidaknya, jiwa ini kembali merasa hidup. Setidaknya aku tahu, kau merasakan itu pula, saat aliran darah ini makin deras mengalir di setiap pembuluh darahku, mencoba berteriak, aku rindu, bagaimana denganmu?

"Puteri aku ingat siapa mereka. Ayo. Cepat kita ke rumah Tuan Dunberg. Portal kita ada di sana. Kita harus cepat mengejar dua pencuri licik itu, Puteri. Belatiku, masih Tuanku bawa bukan?" tanya Thea.

"Masih, Thea. Kita akan ambil kembali liontin itu. Kita akan kejar mereka, Thea. Kita kejar mereka," kataku pelan, penuh kepastian. 

*Solo, diantara tugu penanda desah resah jiwa melantunkan rasa, mengumandangkan pada dunia, bahwa cinta masih ada di sana.

[duh, maaf late post, kawan...lagi ribet ma dunia materi nih, maafkeun...]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun