Benteng Carlyle berdiri megah membatasi kerajaan Saverian yang malam itu terbalut kabut pekat. Dingin angin dari samudera menerpa pantai, menawarkan sejuta mimpi yang terbelenggu sempurna dalam bentangan semesta.
Hasutan ombak mulai terpecah menghantam dinding karang dan hanyut luruh kembali ke laut lepas. Bau peradaban anak manusia menjangkiti penduduk Saverian yang lebih memilih untuk menikmati malam di bawah naungan dinding-dinding rumah yang hangat.
Lain dengan Arye. Ia masih mengamati samudera dengan penuh ketakjuban. Pandangannya tak berpindah dari laut lepas itu.
"Lautan dan pegunungan akan menyatu membentuk kehidupan, Pangeran,"suara berat dan tegas mengejutkan Arye.
Di samping kirinya kini berdiri seorang lelaki tua, berjubah putih. Perawakannya tegap, meski terlihat banyak keriput menghiasi kulitnya. Dagunya yang lancip tertutup janggut abu-abu sepanjang dada. Di kepalanya ada semacam mahkota perak, berukir daun berulir. Warna perak senada dengan tongkat dan jubahnya.Â
Di tangannya ada tongkat sebagai alat untuk memudahkan jalannya. Orang tua ini berdiri tanpa ragu, seakan semua diam dan tak menahu keberadaannya bersama Arye.
Para prajurit yang berjajar menjaga benteng pun diam membisu bak patung yang membeku.
"Apa yang kau kuatirkan, Pangeran? Sudah saatnya laut dan pedalaman menyatu. Barangsiapa merasa menang, maka ia adalah pecundang, tetapi siapa yang merendah, ialah sang pemenang,"
"Siapa Anda, Tuan?"tanya Arye
"Aku bukan siapa-siapa, Pangeran. Bukan siapa-siapa. Yang pasti, Andalah yang terpilih. Carilah yang tersembunyi. Bila engkau mendapatkannya, simpanlah ia di dekat hatimu, Pangeran.Â