Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 2: "The Truth"]

10 Oktober 2019   12:02 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:17 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Mata Ayah yang teduh tiba-tiba berubah merah. Menyala. Tubuhnya terguncang hebat. Namun ia masih tetap melihatku. Menatapku tajam.

"Ayaaaah...." bisikku pelan. 

Lagi aku semakin termangu. Ada sesuatu yang muncul di balik badan Ayah. Ada semacam benjolan. Oh, tidak. Benjolan itu kini semakin membesar. Dan, entah dari mana datangnya, di punggung Ayah kini ada sepasang sayap. 

Baju Ayah robek. Dalam sekejap Ayah berubah. Seperti seorang peri. Iya. Seorang peri laki-laki yang sangat gagah. Bola matanya yang biru berganti merah menyala.

Rambutnya yang hitam lurus kini berubah memanjang. Hampir sepinggang. Di tangannya ada senjata semacam busur perak? Tali busurnya pun perak. Sedang di belakangnya pun ada beberapa anak panah yang terbuat dari perak. 

Baju Ayah berupa baju zirah. Ya, seperti layaknya seseorang yang ada dalam buku dongeng yang seringkali dibacakan Iyem menjelang tidurku waktu malam. 

Muncul kilat dari dahi tengah Ayah, sebuah sinar keemasan, membentuk sebuah mahkota di kepalanya. Mahkota berukir yang begitu indah. Tak pernah kulihat seindah itu. Mahkota dari batu kristal, bening, namun begitu indah. 

Ia, Ayahku, berdiri di hadapanku yang masih melihatnya dengan berdecak kagum. Baju zirah itu putih. Oh bukan. Warnanya pun mengkilap, seperti perak. Aku hampir tak mengenalinya. 

"Thea, jaga putriku baik-baik. Mereka menginginkan aku. Bawa dia ke istana. Sudah tiba waktunya. Seperti telah tertulis dalam buku Zenith," suara Ayahku terdengar begitu berwibawa. 

"Baik, Paduka Raja," jawab Iyem.

'Hah, Iyem? Bukan. Ayah tadi bukan menyebut nama Iyem. Ini....apa-apaan?' aku tak pernah habis pikir. Thea. Ya. Tadi Ayah sempat menyebut Thea. Mengapa yang menjawab Iyem. 

"Pergilah kepada Langboard. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Aku harus pergi. Para prajurit telah menungguku terlalu lama," lalu sosok yang biasa kusebut Ayah itu lalu melesat begitu cepat. Seperti terbang. Bukan. Menghilang? Bukan. Hanya melesat, menembus celah pintu dan melayang sebagai sebuah cahaya di atas langit malam.

Oooh, logika, ke manakah kau akan berlari? Menempuh jalan mana? Bisakah aku menghindarimu sesaat saja? Mampukah aku berpikir sedikit saja atas tuntunan hati dan batinku?

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku sedang bermimpi? Cincin ini. Melekat begitu kuat. Aku tak mampu melepasnya. Seakan-akan cincin ini telah melekat di jari manis sebelah kiriku. 

"Nya....apa yang kau lakukan?" tanya Iyem. Ya. Aku mengenalnya sebagai Iyem. Bukan Thea. Jauh sekali perbedaannya. 

"Thea? Buku Zenith? Apa itu semua? Istana,... Lalu si Lang.... Lang... Langlang...entah siapa itu. Apa yang terjadi? Apakah aku orang yang paling tolol di muka bumi ini?"

"Hssssh...diam. Jangan berteriak," kata Iyem yang punya nama baru Thea. 

"Lalu siapa namamu? Siapa namamu??? Thea atau Iyem? Rhea atau Inem? Hhhhh, menyebalkan. Bahkan namamu lebih bagus dari aku,"gerutuku. 

Tiba-tiba Iyem yang bernama lain Thea itu menarik tanganku. Diajaknya aku ke gudang, di bagian bawah rumahku. Ya. Di rumahku ada sebuah basement kecil. Dihubungkan oleh anak-anak tangga kayu. Kami menuruni tangga tersebut. 

Ayah seringkali melarangku memasuki ruangan ini. Entah mengapa aku juga tak terlalu tertarik. Bukankah ini hanya sebuah basement yang dijadikan gudang. Apa saja sih yang ada di gudang, bukankah hanya barang-barang tak berguna.

Setelah menutup rapat-rapat pintu kecil yang menghubungkan antara gudang dan ruang bagian rumah, Iyem yang disebut Thea segera menyalakan bohlam kecil yang dipasang di situ. 

"Tunggu di sini Tuan Puteri," katanya lagi. 

Aku duduk di sebuah bangku yang agak berdebu. Di sudut ruangan, dimana meja persegi tak begitu besar dibiarkan teronggok di situ. 

"Perkenalkan. Namaku Thea," tangan Iyem terulur ke arahku. 

Aku tak segera menyambutnya. Bukan karena aku tak mau. Aku hanya tak mampu menahan ketakjubanku. Dia bukan Iyem. Bukan orang yang biasa membantuku menyiapkan sarapan atau makan malam untukku dan Ayah. 

Dia bukan Iyem yang dengan penampilan baju tidurnya atau gelung rambutnya yang awut-awutan. Bukan. Bukan.

Dia, seorang....ksatria? Maksudku....lady warrior? Baik. Inilah dia yang kumaksudkan.

Seorang wanita muda. Umurnya sedikit lebih tua diatasku. Rambutnya hitam lurus, mengkilap seperti kain sutera. Wajahnya oval, matanya agak sipit. Hidungnya mancung. Bajunya berupa baju perang. Ia menyandang sebuah pedang besar. Di saku sebelah kanan dan kirinya ada belati kecil. Baju perang itu berwarna coklat kehitaman. Hampir senada dengan warna iris matanya. Berdiri di hadapanku dengan anggunnya. Begitu cantik.

Diatas kepalanya pun ada sebuah mahkota kecil, yang melingkari kepalanya. Memang tak seindah milik Ayah. Tapi, cukup cantik menghiasi kepala wanita anggun ini.

Kasut itu sangat indah. Tepat digunakan oleh seorang ksatria yang sering berperang. Oh, tak pernah kusangka. Jika saja aku tahu dari dulu Iyem punya kostum seindah ini, pasti akan kupinjam untuk datang di malam perpisahan saat sekolah dulu.

"Kenapa bengong?"tanya wanita itu. "Aku Thea," sekali lagi, tangan itu terulur. Tangan yang terbungkus sarung tangan hingga setengah lengan membuat tangan anggun itu terkesan sangat tangguh.

Kusambut uluran tangannya. Jabatannya erat. Tiba-tiba di hadapanku tertampak bayangan sebuah pertempuran besar. Ya. Sebuah medan tempur yang sangat sengit. 

Kilatan-kilatan cahaya senjata beradu dengan senjata. Anak panah yang bertubi-tubi meluncur dari dua arah yang berlawanan, bau anyir darah, dan beribu-ribu mayat prajurit yang bergelimpangan memenuhi medan tempur itu. 

Asap mengepul. Ada beberapa kereta perang yang ditarik oleh seekor binatang yang bermuka sangat aneh dan menjijikkan. Makhluk itu menarik sebuah kereta pelempar bola api. Binatang itu berkepala dua. Ada satu lagi, berkepala tiga, malahan. Mulutnya selalu terbuka, giginya hampir semua seperti taring yang panjang. 

Matanya buas menyelidik setiap sisi kelemahan lawan. Tampakannya serupa dengan harimau berkepala rangkap. Badannya besar, mungkin dua kali ukuran gajah. 

Namun kemudian aku kembali tersadar. Aku masih berada di gudang. Ya, di rumahku sendiri, bersama Thea.

"Apa yang kau lakukan, Tuan Putri? Apa yang kau lihat?" nada tanya yang tak terdengar enak.

"Bukan. Tidak...emh ... Aku tadi hanya... Entahlah. Ugh, tolong, aku tak pernah mengerti semua ini," jawabku terbata-bata.

"Duduklah dulu," katanya. " Dengar. Aku adalah Thea. Itu namaku. Aku diminta Paduka Raja Redrix, Ayahmu, untuk membantunya mengasuhmu di dunia ini. Aku berasal dari sebuah dimensi yang berbeda. Kami hidup nyaman di Kerajaan Fillya. Kerajaan dan negeri yang begitu indah.

"Tugasku mengantarmu ke sana. Kembali ke istana. Di sanalah tempat yang paling aman untukmu, Tuan Puteri,"

"Tunggu. Berkali-kali kau menyebutku, Tuan Putri. Apa maksudmu? Tak adakah nama lain yang lebih keren? Lalu siapa Lang... Langlang, atau... Entahlah. Lalu siapa Raja Redrix? Ayahku seorang Raja? Wow...ini seperti mimpi,"

"Sayangnya ini bukan mimpi, Tuanku. Kalaupun ini mimpi, pastilah ini sebuah mimpi buruk,"

"Apa maksudmu? Ayahku seorang Raja. Lantas siapa aku?"

"Kau adalah Tuan Puteri, pewaris tahta kerajaan Fillya."

"Tolong berhenti memanggilku Tuan Putri dan coba jelaskan siapa aku."

"Kumohon, dengarkan dulu aku, Tuan Putri Sherin. Waktu kita tak banyak. Cincin yang kau kenakan itu adalah cincin meterai. Dunia ini sedang berada dalam keadaan yang sangat gawat. Dua batu api besar telah dikirim dari dimensi lain untuk menghancurkan bumi. 

"Kami datang sebagai bagian dari bumi ini. Kau pun demikian. Jadi kumohon tetaplah bersamaku. Aku adalah abdimu. Dari beribu-ribu ksatria Fillya, akulah yang telah terpilih untuk mengawal, Tuanku. Seperti telah tertulis dalam buku Zenith, buku tentang riwayat kerajaan Fillya, yang diwariskan oleh nenek moyang kami.

"Sudahlah. Yang pasti, jangan pernah kau lepaskan cincin itu, Tuanku. Itu meterai untukmu, dan bagi masa depan kerajaan Fillya."

"Lalu...apa yang terjadi di luar sana, Thea?"

"Penghancuran. Dengar. Tidurlah. Itu akan kau butuhkan, Tuanku. Jangan cemas. Raja Redrix telah memberikan perlindungan penuh di sekeliling rumah ini. Untuk sementara kita aman. Besok, kita akan melakukan perjalanan panjang kita. Sangat panjang."

"Thea, maukah kau melakukan sesuatu untukku?"

"Apa itu? Membacakan dongengmu lagi?"

"Bukan. Dongeng itu siap kujalani. Tolong, jangan panggil aku, Tuan Putri. Sebut saja namaku. Aku suka nama baruku. Sherin....," mataku terpejam. 

Tak ada kata- kata apa pun. Semua hening. Tak kudengar suara-suara mengerikan di luar sana. Besok adalah petualanganku. Besok, ceritaku, sebagai seorang puteri dimulai.

*Solo, kala cerita imaji mulai menggerayangi bumi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun