Aku duduk di sebuah bangku yang agak berdebu. Di sudut ruangan, dimana meja persegi tak begitu besar dibiarkan teronggok di situ.Â
"Perkenalkan. Namaku Thea," tangan Iyem terulur ke arahku.Â
Aku tak segera menyambutnya. Bukan karena aku tak mau. Aku hanya tak mampu menahan ketakjubanku. Dia bukan Iyem. Bukan orang yang biasa membantuku menyiapkan sarapan atau makan malam untukku dan Ayah.Â
Dia bukan Iyem yang dengan penampilan baju tidurnya atau gelung rambutnya yang awut-awutan. Bukan. Bukan.
Dia, seorang....ksatria? Maksudku....lady warrior? Baik. Inilah dia yang kumaksudkan.
Seorang wanita muda. Umurnya sedikit lebih tua diatasku. Rambutnya hitam lurus, mengkilap seperti kain sutera. Wajahnya oval, matanya agak sipit. Hidungnya mancung. Bajunya berupa baju perang. Ia menyandang sebuah pedang besar. Di saku sebelah kanan dan kirinya ada belati kecil. Baju perang itu berwarna coklat kehitaman. Hampir senada dengan warna iris matanya. Berdiri di hadapanku dengan anggunnya. Begitu cantik.
Diatas kepalanya pun ada sebuah mahkota kecil, yang melingkari kepalanya. Memang tak seindah milik Ayah. Tapi, cukup cantik menghiasi kepala wanita anggun ini.
Kasut itu sangat indah. Tepat digunakan oleh seorang ksatria yang sering berperang. Oh, tak pernah kusangka. Jika saja aku tahu dari dulu Iyem punya kostum seindah ini, pasti akan kupinjam untuk datang di malam perpisahan saat sekolah dulu.
"Kenapa bengong?"tanya wanita itu. "Aku Thea," sekali lagi, tangan itu terulur. Tangan yang terbungkus sarung tangan hingga setengah lengan membuat tangan anggun itu terkesan sangat tangguh.
Kusambut uluran tangannya. Jabatannya erat. Tiba-tiba di hadapanku tertampak bayangan sebuah pertempuran besar. Ya. Sebuah medan tempur yang sangat sengit.Â
Kilatan-kilatan cahaya senjata beradu dengan senjata. Anak panah yang bertubi-tubi meluncur dari dua arah yang berlawanan, bau anyir darah, dan beribu-ribu mayat prajurit yang bergelimpangan memenuhi medan tempur itu.Â