"Pergilah kepada Langboard. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Aku harus pergi. Para prajurit telah menungguku terlalu lama," lalu sosok yang biasa kusebut Ayah itu lalu melesat begitu cepat. Seperti terbang. Bukan. Menghilang? Bukan. Hanya melesat, menembus celah pintu dan melayang sebagai sebuah cahaya di atas langit malam.
Oooh, logika, ke manakah kau akan berlari? Menempuh jalan mana? Bisakah aku menghindarimu sesaat saja? Mampukah aku berpikir sedikit saja atas tuntunan hati dan batinku?
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku sedang bermimpi? Cincin ini. Melekat begitu kuat. Aku tak mampu melepasnya. Seakan-akan cincin ini telah melekat di jari manis sebelah kiriku.Â
"Nya....apa yang kau lakukan?" tanya Iyem. Ya. Aku mengenalnya sebagai Iyem. Bukan Thea. Jauh sekali perbedaannya.Â
"Thea? Buku Zenith? Apa itu semua? Istana,... Lalu si Lang.... Lang... Langlang...entah siapa itu. Apa yang terjadi? Apakah aku orang yang paling tolol di muka bumi ini?"
"Hssssh...diam. Jangan berteriak," kata Iyem yang punya nama baru Thea.Â
"Lalu siapa namamu? Siapa namamu??? Thea atau Iyem? Rhea atau Inem? Hhhhh, menyebalkan. Bahkan namamu lebih bagus dari aku,"gerutuku.Â
Tiba-tiba Iyem yang bernama lain Thea itu menarik tanganku. Diajaknya aku ke gudang, di bagian bawah rumahku. Ya. Di rumahku ada sebuah basement kecil. Dihubungkan oleh anak-anak tangga kayu. Kami menuruni tangga tersebut.Â
Ayah seringkali melarangku memasuki ruangan ini. Entah mengapa aku juga tak terlalu tertarik. Bukankah ini hanya sebuah basement yang dijadikan gudang. Apa saja sih yang ada di gudang, bukankah hanya barang-barang tak berguna.
Setelah menutup rapat-rapat pintu kecil yang menghubungkan antara gudang dan ruang bagian rumah, Iyem yang disebut Thea segera menyalakan bohlam kecil yang dipasang di situ.Â
"Tunggu di sini Tuan Puteri," katanya lagi.Â