Semua karena Ayah memang tak mau menikah lagi. Beliau pernah berkata, bahwa akulah satu-satunya wanitanya di dunia ini. Hmmmh Ayah memang hero buat aku.
Aku pun tak pernah mengalami ketakutan semacam ini. Sungguh mencekam. Oh, aku jadi teringat. Waktu itu mungkin umurku baru lima tahun. Malam-malam seperti ini, tiba-tiba Ayah mengajakku pergi. Naik mobilnya, dan kami pergi menjauhi tempat tinggal kami semula.Â
Dua puluh tahun yang silam. Dan, aku pun tak pernah mengerti, mengapa kami harus cepat-cepat pindah saat itu. Tapi itu bukanlah hal yang terlalu penting bagiku. Jadi tak pernah kutanyakan lagi pada Ayah mengenai hal ini. Dan akhirnya, di sinilah aku. Semua baik-baik saja. Hingga malam ini.
Semua hening. Tak ada suara apa pun. Kami bertiga juga bergeming. Larut dalam sepi yang bercampur dengan rasa was-was.Â
"Ayah, sebenarnya ada apa ini semua? Iyem apa bisa beri penjelasan? Ada apa? Apakah aku jadi orang tolol di seluruh kota ini?" tanyaku sambil berbisik.
"Hsssshh," jari telunjuk Iyem dilekatkan di depan bibirnya, menyuruhku untuk diam.
Suara seperti tembakan dan dentuman bom terdengar dimana-mana. Entahlah. Seperti efek suara dari adegan-adegan dalam film action kesukaan Ipung.Â
Oh iya, bagaimana dengannya? Aku melihat gawaiku. Tak ada satu pun notifikasi dari Ipung. Tak biasanya ia begini. Dan mengapa aku semakin bertambah resah?
Kucoba menghubunginya. Namun ternyata, sinyal gawaiku mati. Kucoba mengulang booting, namun tetap saja tak ada sinyal.Â
"Jangan coba hubungi siapa pun, Nya. Jangan," larang Ayah.
"Kenapa, Ayah?"Â