Aku punya seorang kekasih. Ia tampan, lagi gagah. Itu menurutku. Ia mempesonaku dengan segala caranya. Santun kata, rona wajahnya saat tertawa, pancaran matanya yang tajam, sikapnya yang bijak, dan caranya menggandeng tanganku tanpa harus menggenggamnya erat.Â
Aku pun mulai belajar untuk menyukai segala kekurangannya. Kebiasaannya yang ingin serba cepat, kebaikannya pada semua orang yang kadang membuatku cemburu, hidungnya yang sedikit pesek, badannya yang sedikit gembul, dan tawanya saat aku ingin serius.Â
Tapi menyukai kekurangannya adalah cara ajaib agar kami tetap bersama. Kata beberapa ahli sih begitu. Tak ada salahnya mencoba, bukan?Â
Seringkali ia mengajakku pergi. Entah hanya sekedar menemani hobi kulinernya, atau hanya bercanda sederhana di sudut warung sate kegemarannya. Katanya, untuk menghilangkan kepenatannya. Dan yang paling tidak masuk akal, aku mau begitu saja.
Aku mencintainya. Sangat. Entahlah. Dia mungkin juga begitu. Paling tidak ia tahu bahwa aku cukup mencintainya. Itu pun cukup bagiku.
Ia tak mau aku marah. Tapi ia menyukai setiap ekspresiku jika aku marah. Menurutku aneh, tapi ya, begitulah.Â
Pernah suatu kali aku marah. Beberapa hari ia hanya sibuk dengan urusan pekerjaan dan teman-temannya. Dan saat aku hanya diam saja, ia segera tahu kalau aku sedang kecewa padanya.Â
Segala cara ia gunakan untuk meredakan amarahku. Bukan dengan kuliner kesukaannya, atau hobinya bercanda, ia tahu bagaimana meredakan amarahku. Padahal aku hanya diam.Â
Tapi ada rasa senang. Meski aku tak pernah mengharapkan hari itu terulang lagi. Ia, kekasihku yang juga mencintaiku, berusaha dengan keras untuk memperbaiki cerita cinta kami. Dramatis, tapi aku senang. Kebanyakan wanita begitu bukan?
Hingga kemarin, aku membuatnya sedih. Dan seketika itu juga, aku pun menjadi sangat bersedih. Tiba-tiba semua chat ku dibalasnya dengan singkat. Seolah tak pernah ada yang penting lagi untuk kami bicarakan.