Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Asrama Putri: [End]

17 September 2019   08:08 Diperbarui: 17 September 2019   08:16 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(okay...selamat bertemu kembali, ini diharapkan akhir cerita bersambung... hehehe. Maaf beribu maaf, saya sengaja tidak akan mengulang cerita sebelumnya. Agar lebih nyaman dengan jalan ceritanya, saya sarankan, silakan membaca Asrama Putri I & II. Selamat menikmati... :)

Malam itu mereka pulang dari rumah sakit. Lyn, Devi, dan....Nala. Nala terlihat sangat kusut. Wajahnya, pakaiannya, semua sangat lusuh. 

Sundari membuka pintu tanpa berani bertanya. Meski beribu bertanyaan sempat muncul dan terus menggantung dalam benak dan pikirannya. Ia hanya diam. Begitu pula tiga orang temannya ini. 

Malam pun terus berlanjut. Masing-masing gadis asrama masih berkutat di kamar mereka, kecuali Ndari. Ia tak tahu harus berbuat apa. Yang ia tahu teman-temannya perlu makan. Tenaga mereka sudah habis sejak pagi tadi. 

"Sudah tahu penyakit Ibu, Non?" tanya Budhe di dapur.

Sundari yang kerap dipanggil Ndari hanya menggeleng pelan. Ia tak tahu harus bercerita apa, karena hanya dia yang diminta untuk tinggal di rumah. Malam ini Runi menemani Bapak di rumah sakit.

"Ya, Budhe hanya berharap, semua bakal baik-baik saja. Budhe doakan semua bisa kembali seperti semula,"

"Amin, Budhe. Amin," sahut Ndari hampir tak terdengar tertelan air mata yang mulai menggelapkan pandangannya.

Terdengar suara Nala mengetuk pintu kamar Devi.

"Dev, bisa minta tolong ga?" pinta Nala. Rambutnya terlihat agak basah. Meski agak segar, lebih bersih, namun tetap saja Nala terlihat cemberut.

Pintu kamar Devi dibuka pelan, lalu ditutupnya erat. Seolah ia memastikan tak ada yang mendengar bahwa ia ada di dalam kamar Devi.

"Tolong dong, minyakin rambutku," pinta Nala lagi. Tanpa berkata-kata apa pun, Devi bangun dari rebahannya di atas tempat tidur. Dan Nala lebih memilih duduk bersila di lantai, sedang Devi duduk di atas tempat tidurnya.

"Dev, kamu tahu ga kalo Ibu itu, sebenarnya punya sakit jantung? 

"Kamu tahu ga, beberapa hari ini aku ke mana aja?"

Devi tetap diam. Ia malas mendengarkan cerita Nala. Hanya saja, ia tak mungkin menolak permintaan tolong Nala.

"Saat Sundari datang pertama kali ke sini, tanpa sengaja aku membaca surat dari eyang nya Ndari buat Ibu. Dari situ aku tahu Ndari itu ternyata putrinya Ibu,"kembali Nala membuka perbincangan.

"Ya, bukannya kita semua juga anaknya Ibu? Apanya yang aneh?" jawab Devi.

"Ndari itu anak kandung Bu Jannah," tegas Nala. "Itu kenapa aku selalu membelanya saat kalian mengejek dia,

"Kamu ingat, dulu waktu kalian selalu memanggilnya 'Sun', aku ga ingin itu. Aku yang membelanya. Memang namanya Sundari. Tapi bukan berarti bahwa kita bisa memanggilnya dengan kata itu, karena kita ga minta dicium ama dia kan?"

Devi tetap tak menjawab. Meski sekarang ia merasa tertarik pada cerita gadis gempal itu.

"Bu Jannah waktu itu sudah tukar cincin, semacam peristiwa untuk memberitahu semua saudara dan para tetangga, bahwa Ibu sudah jadi milik Bapak. 

"Tapi semua berawal dari sepulang Ibu dari pagelaran menari.... Malam itu, Ibu pulang sendirian, di jalan, Ibu diperkosa orang, lalu hamil.

"Karena keluarga Ibu ga mau orang tua Bapak tahu, maka setelah lahir Ndari dititipkan ke salah seorang pembantu di rumah Bu Jannah, agar dibawa, diasingkan ke desanya.

"Jadi seumur hidupnya, Ibu baru mengenal Ndari saat ia datang ke rumah ini,"

Devi hanya terdiam. Mengapa sampai saat ini baru ia sadari bahwa Bu Jannah adalah ibu kandung Sundari? Bukankah mata mereka sama? Bahkan bentuk rahang mereka sama? Dan darah seorang penari dari Bu Jannah pun mengalir dalam diri Sundari? 

"Satu hal yang menjadi pertanyaanku, Dev. Mengapa Bapak tiba-tiba ingin krama lagi? Seingatku, dulu waktu eyang putri tumbuk warsa, aku diajak Ibu ke rumah eyang. Acara ulang tahun eyang sangat meriah. Tentu saja. Usia eyang 64 tahun. Aku ingat, eyang pernah berpesan pada Ibu, agar Ibu harus selalu menghormati Bapak, yang sudah mau menerima Ibu apa adanya.

"Aku mendengar, dari perbincangan mereka. Eyang putri jelas mengatakan Ibu harus jadi wanita Jawa yang benar-benar Jawa. Ibu hanya diam waktu eyang menyinggung tentang kesuciannya.

"Saat itu aku tak tahu apa itu kesucian. 

"Yang aku tahu, waktu itu aku harus menunggu Ibu di luar kamar eyang, karena Ibu ga mau aku hilang lagi. 

"Hanya, masih saja aku heran, kenapa Bapak harus krama lagi? Bukankah kalau Sundari anak kandung Bu Jannah, maka Bu Jannah bukan istri yang mandul. Artinya, jika sampai saat ini mereka tak punya keturunan, berarti Bapaklah yang...."

"Cah gemblung," potong Devi sambil memukul pelan kepala Nala. 

Nala berpindah tempat duduk, ia memilih duduk di atas kasur Devi yang lebih empuk. Tak perduli apa yang dikatakan Devi soal dirinya disebut cah gemblung, sebutan itu bukan berarti bahwa Nala anak gila. Hanya untuk menyatakan bahwa Nala tak boleh menyebut hal yang dianggap tabu untuk menghormati orang yang lebih tua.

"Mbak, Mbak Devi,"ada suara Ndari di balik kamar Devi. 

Perbincangan segera mereka akhiri. Mereka tahu, bila Sundari diam saja, ada kemungkinan ia belum tahu tentang jati dirinya. Dan adalah saru, jika Ndari tahu dari mulut mereka. Hal yang tabu karena mencampuri urusan yang bukan menjadi urusan mereka, meskipun mereka tahu yang sebenarnya terjadi.

Di meja makan ternyata Pak Maman telah duduk bersama Sundari menunggu Devi dan Nala.

"Ayo makan, pasti kalian lelah," ucap Pak Maman singkat. "Mbok Tum, tolong antarkan makan malam untuk Lyn. Dan periksa, pastikan dia minum obatnya. Jangan sampai dia juga dirawat di rumah sakit." 

Tak ada yang berani bertanya, kapan Pak Maman pulang, bagaimana kondisi terakhir Bu Jannah, atau bahkan tak ada yang berani mempermasalahkan mengapa Pak Maman krama lagi. Tak ada.

Hanya suara piring dan sendok yang tak jua terdengar, karena kebiasaan itulah yang dulu sering diajarkan oleh Bu Jannah. Sangat keras didikan Bu Jannah dalam hal ini. Saru, kata Bu Jannah waktu itu. Anak-anak tahu apa artinya itu. Bukan hanya untuk menghormati orang lain, lebih pada hal kesopanan.

Usai makan malam, Pak Maman duduk di halaman belakang. Sebatang rokok disulutnya. 

Hanya Sundari, Nala, dan Devi yang masih duduk di meja makan. 

"Mbak Nala pergi ke mana saja? Tadi ditanyain sama Ibu. Kelihatannya, Ibu cemas sekali," Ndari berusaha memecah kebekuan mereka.

"Aku pergi ke rumah Widodo," jawab Nala.

"Woooo, lha, kamu ini benar-benar gemblung," sahut Devi. "Kamu ngerti ga, Widodo teman SMA yang dulu sering nganter jemput kamu itu? Dia itu..."

"Bandar narkoba. Iya,...Dev. Aku juga baru tahu kemarin. Widodo dulu anak yang masih lugu. Itu kenapa aku menyukainya.

"Aku sumpek di rumah. Pulang siaran, jam satu dini hari, aku mampir ke rumah Widodo. Tapi, dasar apes, aku sial, belum juga lima menit, ada grebegan polisi. Aku ikut kena ciduk," sesal Nala.

"Jadi, selama dua hari ini...,"

"Ya, aku di sel. Hihihi,...ternyata aku juga merasakan masuk bui. Dasar, apes tenan," Nala tertawa sendiri. Sundari melihatnya cemas. 

"Ibu jangan sampai tahu ini. Bisa jadi perkara besar lagi nih," sahut Devi. "Gimana kamu bisa keluar? Lalu kok bisa ketemu Bapak? Kok bisa sama-sama Bapak ke rumah sakit?"

"Aku telepon Bapak. Siapa lagi yang harus kutelepon, aku bingung. 

"Akhirnya Bapak datang dan membebaskan aku. Bapak cuma bilang, jangan sampai Ibu tahu semua ini,"

"Dasar kamu benar-benar bandel, Nala,"kata Devi

"Kamu sendiri, kenapa mau jalan lagi sama Pramono?"tanya Nala

Sundari merasa tak membutuhkan lagi percakapan kedua sahabat itu. Dialihkan pandangannya pada Pak Maman yang masih di halaman belakang sendirian.

Didekatinya Pak Maman. Darinya mungkin Sundari bisa tahu kondisi Bu Jannah. Pak Maman masih saja diam.

"Bapak, bagaimana kondisi Ibu?"

"Baik. Kondisinya stabil. Itu mengapa aku lebih memilih untuk pulang. Aku minta Runi telepon ke rumah kalau ada yang penting. Kamu ingin bertemu Ibumu? Besok pagi, kita pergi ke sana.

"Ada yang perlu kamu tahu, ini bacalah. Surat ini ditulis nenekmu saat kamu datang ke sini,"Pak Maman segera memberi waktu Ndari untuk membaca, bahkan menitikkan air matanya

"Jadi...Bu Jannah itu...,"

"Ibumu. Iya. Dan kamu itu anakku. Aku tak perduli masa lalu ibumu. Aku menikahinya. Bukan menikahi masa lalunya. Aku Bapakmu dan dia Ibumu. Aku tak perduli darah siapa yang mengalir dalam dirimu. Anak ibumu adalah anakku.

"Ibumu wanita yang mulia. Ia lebih dahulu menerimaku seutuhnya. Ia tahu aku mandul. Tidak bisa memberinya keturunan. Tapi ia tetap mau mencintai aku. Ia mau menikahi aku. Padahal kalau dia mau, dia masih bisa memilih pria yang lebih menarik dan punya posisi lebih tinggi dari aku. 

"Aku bisa menerima ibumu yang bukan lagi perawan saat ia menikah denganku. Aku tahu itu. Tapi bukan karena aku putus asa gara-gara aku mandul, atau karena rasa bersalahku, aku tak bisa menjaga ibumu, hingga ia bisa diperkosa orang bejat itu. Bukan karena itu.

"Aku menyukai ibumu. Wanita yang sempurna bagiku. Ketangguhannya, keluguannya, kesederhanaanya, dan semua yang ada padanya aku menyukainya."

Sundari diam meski dadanya sesak menahan haru. Ingin rasanya ia sujud di bawah kaki orang tua yang masih terlihat gagah ini. Seorang Bapak yang sejak kecil hanya ada dalam angan-angannya. Seorang Bapak yang ternyata lebih dari yang pernah ia impikan selama ini.

"Kamu mewarisi darah ibumu. Pertama kali aku bertemu, aku tahu betul bahwa memang kamu adalah anak Ibumu. Aku merasa lengkap. Seorang istri dan seorang anak gadis yang manis sepertimu.

"Tentu saja ada empat anak lagi yang harus aku urusi. Mereka pun anak-anakku. Sebagai bapak, aku pun harus mau maju bahkan saat anakku berbuat salah, aku juga ikut bersalah, karena aku tak bisa mendidik mereka dengan benar. 

"Kamu tahu yang kukatakan pada polisi itu. Kalau ia mau tetap menahan Nala yang jelas terbukti bukan pemakai atau pun pengedar narkoba, maka aku pun harus mereka masukkan ke dalam bui. Karena aku adalah bapak yang tak mampu mendidik anakku sendiri.

"Kamu pasti juga bertanya-tanya mengapa aku ingin krama lagi?

"Kamu ingat Dimas? Cucu eyangmu yang di desa?"

"Inggih, Bapak," jawab Ndari pelan dalam balutan air matanya.

"Anak itu umurnya tinggal sebulan lagi, kan? Kanker otaknya sudah stadium 4. Keinginannya hanya satu. Ia ingin ibunya menikah dengan seorang laki-laki yang mau jadi bapaknya. Ia hanya ingin merasakan punya bapak.

"Siapa yang mau dengan ibunya yang wajahnya sebagian terbakar itu. Pulang dari Malaysia kan? Kerja jadi TKW, pulang dalam kondisi hamil, wajahnya kok malah jadi bopeng juga.

"Tapi karena aku rasa ibumu harus membalas budi pada eyangmu. Maka aku harus menikahinya. Coba, apa keluarga ibumu memberi sedikit saja harta mereka pada eyangmu, atau menjengukmu barang sebentar saja? Bahkan mereka menutup rapat-rapat segala hal tentang eyangmu. Orang yang telah berjasa mengasuhmu.

"Ibumu sudah setuju, walau aku tahu ini berat untuk kami. Tapi, ini jalan keluar yang terbaik, Ndari. Hanya sebulan dan ini sudah lewat beberapa hari. Semua agar kehormatan ibumu tetap terjaga. Aku harap mereka pun tak lagi memandangmu hina.

"Anak itu, Dimas sekarang di rumah sakit. Kemoterapi tak menjamin kankernya hilang. Kondisinya semakin lemah. Kalau kamu mau, lusa kita menjenguknya. Pasti ia senang punya kakak sepertimu, Ndari."

"Aku juga mau ke sana, Bapak,"sahut Nala yang tiba-tiba muncul dan memeluk kaki Pak Maman, membasahi sarung batik yang dipakai Pak Maman dengan uraian air matanya.

"Kalian ini mesthi kok nguping,"kata Pak Maman pelan.

Sebulan tanpa terasa telah berlalu. Mobil mewah Pramono tak pernah lagi muncul di halaman asrama. Martabak manis dan asin lebih sering dibawa Devi sepulang dari kantor. Ia telah menemukan yang hilang darinya. Ia kini memilikinya kembali. Bahkan lebih lengkap. Keluarga.

Bapak tak pernah kembali ke desa sejak kematian Dimas. Ibu Dimas sudah diceraikannya baik-baik. Diberinya uang dan perhiasan sebagai tanda perpisahan. Bapak kembali kepada cinta sejatinya. Ibu Jannah.

Nala kembali dengan rutinitasnya, tak banyak yang berubah. Badannya tambah gempal. Meski sekarang, ia lebih sering pulang diantar oleh seorang pemuda yang tak kalah gempalnya dengan Nala.

Lyn dengan kebahagiaan sederhananya, membuka satu kios lagi yang tak jauh letaknya dari kios Bu Jannah. Ia benar-benar menjadi Cici pemilik kios. Meskipun begitu, setiap sore tutup kios, ia tetap pulang ke asrama bersama Bu Jannah naik becak Pak Min.

Hanya Runi yang tak banyak berubah. Asrama itu tak banyak merubahnya. Ia tetap berbicara hanya pada hewan-hewan di sekelilingnya. Ia tetap menyayangi kecoa, ia bahkan memperhatikan setiap semut dan cicak yang ada di kamarnya, hanya saja buku bacaannya lebih banyak dari pada yang dahulu.

Sundari? Silakan pembaca tentukan sendiri.....

*Solo, harapan itu selalu ada bila kita percaya. Dan bila harapan itu terus ada, sepahit apa pun hidup, well it is not over. 

Satu hal, bila seorang ibu memperkenalkan anak kepada dunia, maka ayah memperkenalkan dunia kepada anak. 

Yes, it is not over, it is not over for your dream, for your job, for your family... it is not over. Have a nice day...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun