"Tapi semua berawal dari sepulang Ibu dari pagelaran menari.... Malam itu, Ibu pulang sendirian, di jalan, Ibu diperkosa orang, lalu hamil.
"Karena keluarga Ibu ga mau orang tua Bapak tahu, maka setelah lahir Ndari dititipkan ke salah seorang pembantu di rumah Bu Jannah, agar dibawa, diasingkan ke desanya.
"Jadi seumur hidupnya, Ibu baru mengenal Ndari saat ia datang ke rumah ini,"
Devi hanya terdiam. Mengapa sampai saat ini baru ia sadari bahwa Bu Jannah adalah ibu kandung Sundari? Bukankah mata mereka sama? Bahkan bentuk rahang mereka sama? Dan darah seorang penari dari Bu Jannah pun mengalir dalam diri Sundari?Â
"Satu hal yang menjadi pertanyaanku, Dev. Mengapa Bapak tiba-tiba ingin krama lagi? Seingatku, dulu waktu eyang putri tumbuk warsa, aku diajak Ibu ke rumah eyang. Acara ulang tahun eyang sangat meriah. Tentu saja. Usia eyang 64 tahun. Aku ingat, eyang pernah berpesan pada Ibu, agar Ibu harus selalu menghormati Bapak, yang sudah mau menerima Ibu apa adanya.
"Aku mendengar, dari perbincangan mereka. Eyang putri jelas mengatakan Ibu harus jadi wanita Jawa yang benar-benar Jawa. Ibu hanya diam waktu eyang menyinggung tentang kesuciannya.
"Saat itu aku tak tahu apa itu kesucian.Â
"Yang aku tahu, waktu itu aku harus menunggu Ibu di luar kamar eyang, karena Ibu ga mau aku hilang lagi.Â
"Hanya, masih saja aku heran, kenapa Bapak harus krama lagi? Bukankah kalau Sundari anak kandung Bu Jannah, maka Bu Jannah bukan istri yang mandul. Artinya, jika sampai saat ini mereka tak punya keturunan, berarti Bapaklah yang...."
"Cah gemblung," potong Devi sambil memukul pelan kepala Nala.Â
Nala berpindah tempat duduk, ia memilih duduk di atas kasur Devi yang lebih empuk. Tak perduli apa yang dikatakan Devi soal dirinya disebut cah gemblung, sebutan itu bukan berarti bahwa Nala anak gila. Hanya untuk menyatakan bahwa Nala tak boleh menyebut hal yang dianggap tabu untuk menghormati orang yang lebih tua.