"Mbak, Mbak Devi,"ada suara Ndari di balik kamar Devi.Â
Perbincangan segera mereka akhiri. Mereka tahu, bila Sundari diam saja, ada kemungkinan ia belum tahu tentang jati dirinya. Dan adalah saru, jika Ndari tahu dari mulut mereka. Hal yang tabu karena mencampuri urusan yang bukan menjadi urusan mereka, meskipun mereka tahu yang sebenarnya terjadi.
Di meja makan ternyata Pak Maman telah duduk bersama Sundari menunggu Devi dan Nala.
"Ayo makan, pasti kalian lelah," ucap Pak Maman singkat. "Mbok Tum, tolong antarkan makan malam untuk Lyn. Dan periksa, pastikan dia minum obatnya. Jangan sampai dia juga dirawat di rumah sakit."Â
Tak ada yang berani bertanya, kapan Pak Maman pulang, bagaimana kondisi terakhir Bu Jannah, atau bahkan tak ada yang berani mempermasalahkan mengapa Pak Maman krama lagi. Tak ada.
Hanya suara piring dan sendok yang tak jua terdengar, karena kebiasaan itulah yang dulu sering diajarkan oleh Bu Jannah. Sangat keras didikan Bu Jannah dalam hal ini. Saru, kata Bu Jannah waktu itu. Anak-anak tahu apa artinya itu. Bukan hanya untuk menghormati orang lain, lebih pada hal kesopanan.
Usai makan malam, Pak Maman duduk di halaman belakang. Sebatang rokok disulutnya.Â
Hanya Sundari, Nala, dan Devi yang masih duduk di meja makan.Â
"Mbak Nala pergi ke mana saja? Tadi ditanyain sama Ibu. Kelihatannya, Ibu cemas sekali," Ndari berusaha memecah kebekuan mereka.
"Aku pergi ke rumah Widodo," jawab Nala.
"Woooo, lha, kamu ini benar-benar gemblung," sahut Devi. "Kamu ngerti ga, Widodo teman SMA yang dulu sering nganter jemput kamu itu? Dia itu..."