Tak sepatah kata pun kujawab. Aku tetap menatapnya dalam-dalam. Ia pun terdiam. Kami membiarkan angin lembut siang itu membelai wajah kami berdua.Â
"Jangan pergi lagi, Mas," pintaku lirih. "Jangan lepaskan tanganku. Aku ingin Mas Bimo tetap di sini," suaraku semakin tak terdengar, tertelan air mata yang mengalir di pipiku.
Ia menatapku. Dilepaskannya tanganku pelan. Ditariknya aku ke dalam pelukannya. Entah ia mengerti atau tidak, tapi aku merasakan kelembutan dalam pelukannya.
Tak ada kata-kata, hanya angin yang berbicara lembut menyampaikan bahasa cinta pada kami berdua.Â
Lama ia memelukku. Dibiarkannya aku menangis di dadanya yang bidang.Â
"Bim!! Ayo cepat nanti kita..." suara lelaki itu tiba-tiba terhenti.Â
Aku masih dalam pelukan Bimo. Sesaat semesta seperti terhenti. Bumi seakan berhenti berputar. Jarum jam berhenti bergerak. Waktu terhenti seketika.
Aku mendengar detak jantung Bimo, begitu indah seiring dengan hembusan angin aneh yang menyertai nafas Bimo yang hangat dalam pelukannya.Â
Lalu sekejap waktu kembali bergulir. Bimo melepaskan pelukannya. Tangannya kini mengusap lembut air mataku yang jatuh.Â
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah bus yang melaju kencang di depan gereja. Berlalu begitu saja. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kulihat kembali Mas Bimo tersenyum.
"Pulang sama-sama yuk," ajaknya. "Mobilku masih muat kalo nambah satu wanita cantik sepertimu, Ver. Lagi pula kamu masih berhutang traktir aku makan, kan?" lanjutnya.