Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kartika Bintang di Langit Malam

29 Juli 2019   21:50 Diperbarui: 29 Juli 2019   21:58 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok: Pinterest.com/freepik

"Kartika, serius kamu pulang sendiri, Tik?" ujar Satrio cemas.

"Tak apa, Mas. Aku sudah biasa kok. Lagi pula, nanti aku mampir ke rumah Budhe dulu, ambil jahitannya ibu, pesenannya harus jadi besok," jawab Kartika 

"Ayo, aku antar. Ga pa pa kok. Habis nganter kamu, nanti baru jemput Tirta,"

"Jangan, Mas. Nanti kalian berantem lagi kayak kemaren. Sudah, ya, Mas, saya duluan,"

Dengan cemas, akhirnya Kartika melangkah menyusuri jalan di samping tembok keraton yang cukup sepi dan hanya diterangi oleh satu lampu merkuri.

Jalan itu satu-satunya arah yang membawanya ke rumah Budhenya. Rasa cemas dan kuatir menggelayuti pikirannya. Rasa enggan untuk melangkah ke rumah Budhe Lastri sudah merayu untuk membatalkan rencananya malam itu.

Angin malam membelai rambutnya yang hitam mengkilap, lurus seperti tirai alam yang menggantung menghiasi wajah ayu karunia Sang Pencipta.

Entah karena angin malam yang dingin atau karena kecemasan yang mengikat batinnya erat, namun dari belakang, terdengar beberapa langkah kaki dan sebentar-sebentar suara berbisik.

Dipercepat langkah kaki kecilnya. Serasa ingin berlari, namun kaki kecilnya tak mampu lagi bergerak cepat. Seharian ini ia menari di pagelaran seni. Lelah tak kunjung pergi. Gemuruh detak jantung seakan ingin melonjak karena takut yang mendatanginya. Keringat dinginnya mulai luruh menghiasi seluruh tubuh indah nan rapuh.

Suara-suara yang jelas datang dari arah belakang itu pun tetap mengikutinya. Gelak tawa durjana menghiasi malam tak berbintang, malam yang mencekam. 

Hingga, tiba tepat di sudut tikungan jalan, kaki Kartika tak mampu lagi berlari. Jatuh. Hingga diciumnya jalan beraspal yang mulai tak rata. Tubuh mungilnya segera ditangkap kawanan pria bermaksud maksiat untuk melumat habis segala ranum manis tubuh elok pahatan Sang Pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun