Berbenah Menuntun Kodratnya
Bukan tanpa alasan setiap murid melakukan tindakan baik atau buruk. Murid memiliki keyakinan atas tindakannya karena mereka punya keinginan sendiri. Bukankah itulah fitrah manusia? Mempelajari rajutan-rajutan kalimat yang dihimpun dalam filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara, pastinya merombak pola pikir dan mengoyak nurani diri.Â
Mengapa? Karena sejatinya banyak hal yang perlu dibenahi dalam memandang murid maupun mengelola kelas ketika mendidik. Sudahkah Anda mendidik murid dengan mengembalikan anak-anak sesuai kodrat alam dan kodrat zamannya? Benarkah Anda sudah menuntun anak-anak menyelami kodratnya untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan?
Bu Diah, guru Bahasa Indonesia, meyakini bahwa anak yang pandai dan berprestasi tentu rajin dan memperoleh nilai yang bagus. Sementara itu, anak yang nilainya jelek tentulah malas, banyak tingkah, dan sering tidak masuk kelas. Suatu hari, Bu Diah mendapati Yoni berhasil menjadi Juara 1 lomba lari marathon tingkat kabupaten.Â
Padahal, Yoni selalu banyak tingkah, malas mengerjakan tugas, cenderung bicara ceplas-ceplos dan sering tidak masuk kelas. Ternyata, Yoni punya prestasi meskipun nilainya cenderung di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nyatanya, nilai bukanlah tolak ukur pencapaian murid dalam meraih prestasi. Jadi, apa yang salah dalam mengajar saya? Pertanyaan itu menggaung di benak Bu Diah.
Selama ini Bu Diah cenderung mengandalkan penilaian kognitif. Guru hanya mengukur tingkat pencapaian atau penguasaan murid dalam aspek pengetahuan yang meliputi ingatan atau hafalan, pemahaman, penerapan atau aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Kunandar, 2014:159).Â
Selain itu, murid yang heterogen wajib mematuhi dan mengikuti ketentuan pola pembelajaran yang diyakini Bu Diah akan berhasil mendongkrak nilai dan kompetensi murid.Â
Bahkan, setiap murid harus menerima bentuk tugas sama sesuai dengan bahan yang disediakan Bu Diah. Hal ini dikarenakan murid wajib memenuhi nilai di atas KKM. Bu Diah puas jika melihat situasi kelas tertib, teratur, dan disiplin. Menurut Bu Diah, itu salah satu indikator kebehasilan guru dalam mengelola kelas.Â
Bu Diah pun menerapkan pembelajaran berkelompok dan berdiskusi, tetapi bahan yang digunakan kurang kontekstual. Bu Diah mengibaratkan guru adalah pusat informasi karena keseluruhan materi, penjelasan, dan bahan bersumber dari guru. Padahal, perkembangan abad 21 tentunya seluruh informasi dengan mudah bisa dicari.Â
Sebenarnya, Bu Diah sudah menerapkan teknologi dengan membuat media pembelajaran, menggunakan aplikasi dalam memudahkan belajar tetapi ujung-ujungnya ceramah sebagai fokus pembelajaran.
Berkaca dari pengalaman mengajar Bu Diah, tentu ada banyak kekeliruan yang dilakukan baik dalam memandang murid maupun menerapkan tugas sebagai guru. Apa yang seharusnya diubah? Ya, pola pikir bahwa pengajaran bagian dari pendidikan.Â
Menurut Ki Hajar Dewantara, maksud pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.Â
Pertama, anak-anak memiliki kemampuan, keinginan, dan karakter yang berbeda. Kedua, pencapaian pendidikan bukan fokus pada angka tetapi kebahagiaan dan keselamatan sebagai manusia.Â
Ketiga, guru sebagai pamong yang membimbing, membina, mengarahkan murid-murid pada hal-hal baik sesuai dengan kodratnya. Ibaratnya petani dengan tulus ikhlas merawat tumbuh suburnya tanaman padi, tentu berbeda ketika merawat jagung atau kedelai. Begitulah kinerja guru menuntun murid karena sejatinya anak yang dilahirkan itu umpama sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan suram.Â
Pendidikan berkewajiban menebalkan tulisan yang suram dan berisi baik, agar kelak nampak budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan menjadi tebal, bahkan makin suram (convergentie-theorie).
Dalam mengelola pembelajaran, guru hanya memberikan pemantik sebagai arahan untuk murid belajar mandiri. Murid harus mencari dan kreatif dalam menuangkan ide-ide sesuai dengan pengetahuan, kebenaran data, dan informasi yang dipelajari dari beragam sumber. Guru membiarkan mereka belajar sesuai dengan gaya belajar murid masing-masing (kinestetik, auditori, visual). Selain itu, pembelajaran didasarkan pada konteks sosial dan budaya di mana murid tersebut tinggal.Â
Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Â Di samping itu, dalam mengelola pembelajaran guru harus tetap berpedoman pada kodrat alam dan kodrat zaman murid-muridnya.Â
Kodrat alam berkaitan dengan "sifat" dan "bentuk" lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan "isi" dan "irama". Pendidikan anak sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman.Â
Sesuai kodrat zaman, pendidikan saat ini  menekankan pada kemampuan anak memiliki keterampilan Abad 21, sedangkan memaknai kodrat alam, konteks lokal sosial budaya murid di Indonesia Barat tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid di Indonesia Tengah atau Indonesia Timur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang tahun 2021, penduduk di wilayah Karangploso mayoritas bekerja sebagai petani yaitu 11.236 orang (malangkab.bps, 2021).Â
Selain itu, Karangploso terletak di antara Kota Batu dan Kota Malang yang mengusung sentra pariwisata dan pusat pendidikan. Hal ini menjadikan Karangploso memiliki keberagaman sosio kutlural. Tradisi yang masih diselenggarakan yaitu gugur gunung.Â
Tradisi ini diterapkan dalam acara bersih desa, kerja bakti makam, maupun orang bangun rumah. Kegiatan tersebut diikuti dengan kenduri, bahkan pagelaran seni baik wayang kulit maupun jaranan.Â
Selain itu, sikap religius masyarakat masih sangat kental. Hal ini ditengarai dari banyaknya pondok pesantren yang berada di Karangploso. Masyarakat pun menginternalisasikan adat istiadat Jawa dan agama Islam.Â
Hal ini terlihat dari peringatan-peringatan agama Islam, tetapi dikemas dalam budaya Jawa, semisal Suroan, Muludan, dan sebagainya. Masyarakat Karangploso juga menyelenggarakan acara rutin seperti tahlilan, dibaan, maupun yasinan.
Bagaimana internalisasi sosio-kultural masyarakat diterapkan di sekolah? Tentunya melalui pembiasaan, keteladanan, dan pengemasan acara yagng sama tetapi konsep yang berbeda.Â
Contoh tradisi gugur gunung bisa dilaksanakan di sekolah melalui program Jumat Bersih, program kancil (komunitas anak cinta lingkungan), dan sebagainya. Secara tidak langsung, murid telah mengikuti budaya masyarakat. Dengan kerja bakti, murid berinteraksi, menjalin kerja sama dan bertukar pikiran untuk mewujudkan satu tujuan.Â
Sementara itu, pengemasan sikap religius di sekolah dilaksanakan dengan pengadaan peringatan Maulid Nabi, Peringatahan Tahun Baru Hijriah, pembacaan surat pendek, asmaul husna setiap pagi, maupun penyelenggaraan ekstrakurikuler banjari dan kegiatan insidental istighosah.Â
Mengapa ini penting? Karena sejatinya agama sebagai pondasi utama dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Bukankah pendidikan tanpa kebudayaan sendiri seperti perahu di lautan tanpa panduan arah (Dewantara, 1977).
Apa yang kemudian dilakukan untuk mengimplementasikan pemikiran Ki Hajar Dewantara?Â
Pertama, melakukan diagnostik awal untuk mengenal karakteristik murid-murid dengan wawancara, isian, atau ceklist (hobi, harapan, kekhawatiran, pengetahuan awal, pola belajar murid).Â
Kedua, membuat kesepakatan kelas terkait hal-hal yang akan dilakukan di dalam kelas baik aturan maupun sanksi. Dengan kesepakatan yang dibuat bersama, murid merasa dihargai sebagai individu dan tentu saja akan melaksanakannya.
Ketiga, hasil diagnostik awal digunakan untuk merancang pembelajaran yang aktif dan menyenangkan di mana murid diberi kebebasan bereksplorasi dalam menuangkan ide terkait materi yang dipelajari.Â
Keempat, menerapkan pembelajaran berbasis kearifan lokal dan mengintegrasikan profil pelajar Pancasila sebagai pembentuk watak murid agar berbudi pekerti yang luhur.Â
Kelima, menerapkan pembelajaran sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.Â
Keenam, menebalkan asesmen afektif dan psikomotor tetapi tidak menafikkan aspek kognitif.Â
Ketujuh, menerapkan sistem among dalam mengasah, mengasuh, dan mengasihi murid-murid untuk menemukan jalan hidupnya yaitu kebahagiaan dan keselamatan sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H